Penulis: Zayyina Millati Ashfa

 

“Kang, menurut sampeyan, manakah yang lebih pantas memimpin? Mereka yang fokus pada perubahan serta tujuan atau mereka yang fokus pada perubahan pada dirinya agar lebih baik dalam mengabdi untuk negeri?”

Kang Alif menanyaiku sembari mengisap rokoknya dalam-dalam. Malam kian larut. Puluhan laron menyerbu memutari sang philips 12 watt di bawah kap lampu yang tergantung pada tiang bambu. Jalanan di hadapan kami lengang. Kopi yang disajikan sejak isya’ sudah dingin. Jam piket ronda menjaga gerbang pondok akan berakhir sebentar lagi.

Aku tahu Kang Alif menanyaiku begitu setelah ia melihat barisan baliho bergambar caleg dari masing-masing parpolnya di seberang jalan. Aku menjawab setelah menyeruput sisa-sisa kopi hitam dalam cangkir kecil.

“Pertanyaanmu itu melibatkan preferensi yang berbeda-beda dari tiap individu, Kang. Menurutku, keduanya adalah dua hal yang kurang tepat untuk kita buat perbandingan. Menjalankan visi misi untuk mencapai tujuan itu harus dilakukan disertai dengan adanya usaha memperbaiki diri sendiri menjadi lebih baik. Fokus pada perbaikan eksternal dan tercapainya tujuan visi misi merupakan tanggung jawab setiap pemimpin dan hal itu dapat menciptakan adanya perubahan besar dalam skala yang lebih luas. Namun, perubahan pada diri individu juga menjadi fondasi kokoh dalam perbaikan tersebut. Jadi keduanya saling memberikan kontribusi. Keduanya harus dilaksanakan.” Kang Alif tersenyum. Ia mengisap lagi rokoknya yang tinggal setengah.

“Menurut sampeyan begitu?” tanyanya lagi. Aku mengangguk. Iya.

“Kalau begitu, apakah pemimpin seharusnya diukur dari masa lalu mereka atau dari visi misi masa depan yang mereka janjikan?”

Kini kopi hitamku habis. Menyisakan ampas hitam pekat di dasar cangkir. Aku tertarik dengan pertanyaan Kang Alif.

“Kalau menurut sampeyan sendiri bagaimana, Kang?” tanyaku balik. Akupun begitu penasaran dengan jawaban berdasarkan sudut pandang Kang Alif yang tampaknya begitu peduli dengan kriteria yang tepat untuk calon wakil rakyat.

Kang Alif memandang jauh ke jalan raya yang makin lengang. Akupun mulai merasakan suasana malam yang semakin hening. Angin dingin berhembus hingga rasanya mampu menusuk tulang-tulang rusukku meski aku sudah mengenakan jaket tebal. Sesekali aku menarik ingus yang tiba-tiba keluar meskipun tadinya aku tak pilek, tak kuat dengan dinginnya udara malam di luar ruangan, di pinggir jalan pula. Pukul 23.50. Artinya sepuluh menit lagi jam piket jaga gerbangku akan berakhir.

Kang Alif lama menjawab, hingga akhirnya bertanya hal lain.

Sampeyan tahu kenapa laron menyerbu lampu-lampu di musim hujan?”

“Karena di musim hujan tanah menjadi lembab. Laron-laron membutuhkan tempat yang hangat, maka koloni laron mencari cahaya,” jawabku sebagaimana yang kutahu.

“Satu lampu diserbu puluhan laron,” Kang Alif memandang lampu philips di dekat kami. Memerhatikan laron-laron yang beterbangan, yang sesekali mengganggu kami.

“Itu wilayah kekuasaannya, Kang. Wilayah di mana laron-laron datang mencari mangsa dan pasangan, lalu bereproduksi,” tambah Kang Alif. Aku manggut-manggut.

“Di bawah lampu, koloni laron meninggalkan tempat tinggalnya yang lembab. Mencari kehangatan, lalu pergi saat lampu padam.”

Laron-laron di bawah lampu di dekat kami perlahan-lahan berkurang jumlahnya, seiring bertambah redupnya cahaya dari philips 12 Watt.

Sampeyan tahu, kan, Pak Sartono yang nyaleg akan silaturrahmi kemari?” Kang Alif kini duduk menghadapku.

Aku melihat dari jauh baliho Pak Sartono, caleg dari partai A, yang menunjukkan potret dirinya bergaya keren dengan tangan terlipat di atas dada, berbaju korsa, bersongkok hitam. ‘Jangan ragu coblos saya’ terpampang jelas di baliho. Tak lupa gambar surat suara dengan paku yang tertancap pada nomor urut di samping nama dan gelarnya.

Aku mengangguk. Tahu. Aku tahu Pak Sartono calon DPRD kota ini akan datang silaturrahmi ke pondok besok siang. Maka, tadi isya’ santri-santri didawuhi Abah Kiai untuk membersihkan area pesantren serta kami  akan membuat acara kecil di aula.

Sampeyan yakin beliau hanya ingin bersilaturrahmi dengan Abah Kiai dan santri-santri? Bukan untuk kampanye?” tanyanya. Kang Alif akhirnya membuang puntung rokoknya di asbak. Asap dari puntung rokok membumbung tinggi, terbawa angin, lalu menghilang.

“Kalau soal Pak Sartono aku tidak bisa kalau tidak su’udzon, Kang,” Kang Alif diam sejenak, lalu melanjutkan.

“Aku yakin lelaki itu sedang berusaha menjilat Abah Kiai dan santri-santri. Mengambil hati Abah Kiai, para pemuka agama, serta santri-santri agar memilihnya di hari pemilu nanti. Bukankah tokoh agama adalah sosok paling gampang mempengaruhi masyarakat?­”

“Huusshh…ngawur. Hati-hati sampeyan kalau ngomong,” kataku tak setuju dengan pendapat Kang Alif. Ngawur. Pendapat Kang Alif sangat ngawur. Tidak pantas ia berkata demikian untuk menyatakan ketidaksukaannya pada caleg tertentu.

“Bukan ngawur, Kang. Aku tahu bagaimana tabiatnya yang penjilat itu, sebagaimana beliau dulu menjilat orang-orang agar masuk dalam perangkapnya. Sebagaimana Pak Sartono menipu keluargaku 10 tahun lalu.”

Aku tidak tahu apakah ini dikarenakan hari yang semakin larut atau Kang Alif yang dikuasai oleh sisi emosionalnya, ia mulai membicarakan hal-hal tidak masul akal padaku.

“Pak Sartono yang meminta bapakku berinvestasi kepadanya, investasi bodong. Dasar penjilat. Bapakku rugi puluhan juta. Maka dari itu aku tak dapat kuliah, berakhir di sini,” kata Kang Alif penuh emosi. Setiap katanya yang penuh penekanan mengisyaratkan adanya amarah yang terbendung, meluap pada malam ini. Aku sendiri antara percaya dan tak percaya dengan ceritanya. Kenapa tak dilaporkan saja?

“Bapakku kesana kemari melaporkan hal ini. Tapi tak tahu, kasus ini tak pernah diungkap ataupun diselesaikan. Bapakku tak dapat kompensasi apapun.” Kang Alif menghembuskan napasnya kesal.

“Aku yakin kampanye kali ini Pak Sartono memakai uang haram itu. Uang yang ia peroleh dari menipu, menjilat orang-orang susah seperti kami,” lanjutnya.

Aku tak tahu harus berbuat apa. Maka aku hanya diam mendengarkannya bercerita hal-hal yang semakin tidak masuk akal di otakku. Hal-hal yang kurasa tidak mungkin dilakukan oleh Pak Sartono yang dikenal masyarakat sebagai sosok penuh wibawa dan seorang dermawan yang kerap membantu masyarakat. Apakah ini  yang dimaksud menjilat oleh Kang Alif?

****

“Assalamu’alaikum, Pak Kiai…”

“Wa’alaikumsalam, Pak Sartono.”

Di belakang Abah Kiai, aku mengikuti Abah Kiai menyambut Pak Sartono yang tiba siang ini. Abah Kiai memeluk Pak Sartono, menanyakan kabarnya, menanyakan keluarganya, dan sedikit berbasa basi dengan ramah. Pak Sartono didampingi beberapa orang yang ku kira tim suksesnya memasuki aula, duduk di hadapan santri-santri.

Suasana aula ramai sejak Pak Sartono hadir di tengah-tengah kami. Pak Sartono melambaikan tangan kepada para santri, disambut dengan lambaian tangan dan tepuk tangan meriah oleh para santri. Sambutan yang hangat.

Pak Sartono memberikan sedikit sambutan kepada para santri. Mengucapkan terimakasih kepada Abah Kiai. Mengucapkan syukur karena adanya pemuda-pemudi seperti kami, yang menjadi tonggak dari kemajuan bangsa. Mengungkapkan perasaan bangganya kepada kami, para santri yang tak hanya paham ilmu agama saja, namun juga menguasai ilmu-ilmu umum. Tak ada yang salah dari setiap tuturannya. Pak Sartono tampak luwes menyampaikan setiap pendapatnya mengenai santri-santri masa kini.

Para santri menikmati pidato Pak Sartono. Hanya satu orang yang tampak diam dari tadi. Menatap tajam setiap gerak-gerik Pak Sartono. Mendengarkan seksama setiap ujaran Pak Sartono. Kang Alif.

Kang Alif yang duduk di dekatku menunjukkan ekspresi tak sukanya sejak Pak Sartono datang. Wajahnya seolah-olah dikendalikan oleh amarah yang tertahan. Tampak menegang, namun Kang Alif tidak juga melakukan apapun atau mengucapkan apapun. Hanya diam menatap Pak Sartono.

Menit-menit berlalu, tak kusadari Kang Alif menghilang dari pandanganku. Celingak-celinguk aku mencari keberadaan Kang Alif yang kabur sebelum acara selesai. Aku meminta tolong kepada santri ndalem lainnya untuk menghandle acara. Kemana Kang Alif? Jangan-jangan ia berbuat sesuatu.

Bergegas aku mencari Kang Alif. Kucari ke kamar mandi, asrama, kantor pengurus, tidak ada. Akhirnya kutemukan ia di pelataran parkiran di mana mobil pribadi milik Pak Sartono berada. Kang Alif berjalan dengan langkah cepat dan nampak berat. Tangan kanannya membawa jerigen yang entah berisi apa dan entah ia dapat dari mana. Jangan-jangan isinya bensin. Berbagai prasangka buruk muncul dalam benakku. Kang Alif, apa yang hendak kau lakukan?

“Kang Alif!!” kuteriakkan namanya sambil aku berlari ke arahnya. Langkah Kang Alif terhenti. Ia berbalik menghadapku.

“Hentikan! Jangan tersulut emosi, Kang. Jangan mendendam,” kataku di hadapannya. Tubuh Kang Alif menegang, wajahnya juga. Alisnya menurun, bibirnya terlipat, aku tahu Kang Alif sedang marah.

“Kenapa? Kenapa aku kudu berhenti, Kang? Sampeyan tahu, kan, keluargaku hancur karena siapa? Bertahun-tahun aku bertanya-tanya, apakah Pak Sartono sudah menerima karmanya? Kalau belum, maka akan kuantar hari ini. Tak mungkin aku melihat penipu itu menjadi anggota legislatif. Ini bentuk penolakanku, Kang.”

“Tapi kita tak boleh mendendam, Kang. Coba pikirkan cara lain, coba lupakan masa lalunya. Beliau mungkin sudah berubah,” cegahku.

“Beberapa orang mungkin bisa melupakan masa lalu, Kang. Beberapa mungkin tidak. Aku tidak.” Kang Alif terus berjalan menenteng jerigen di tangan kanannya. Langkahnya semakin cepat. Lalu sekali lagi ia berbalik badan menghadapku dari kejauhan. Ia berjalan mendekat.

Sampeyan tadi malam menanyakan balik pertanyaanku. Apakah pemimpin seharusnya diukur dari masa lalu mereka atau dari visi misi masa depan yang mereka janjikan? Menurutku masa lalu mereka penting, Kang. Tak mungkin aku masuk perangkapnya lagi.” Kang Alif menelan ludah dan mengambil jeda sebelum akhirnya melanjutkan.

“Pesantren kita bukan tempat yang bisa dikuasai laron-laron. Meskipun tampak terang dan damai, pesantren kita bukan lampu itu. Bukan tempat bagi para penjilat mencari mangsanya. Sampeyan paham, kan?”

Kang Alif meninggalkanku yang terpaku. Ia kembali mendekati mobil Pak Sartono yang ditinggalkan begitu saja. Aku sendiri terheran-heran, tidak adakah pengawal yang menjaga mobil Pak Sartono? Kenapa dibiarkan begitu saja?

Kang Alif mengguyur mobil Pak Sartono dengan sesuatu dari jerigennya. Benar, sepertinya bensin. Entah karena terpengaruh oleh perkataan Kang Alif atau bagaimana, aku tak lagi mampu mencegah Kang Alif yang mengeluarkan korek api dari saku bajunya. Aku terpaku.

Lalu api menyambar benda besar hitam itu. Asap hitam membumbung tinggi ke angkasa. Beberapa saat kemudian ledakan besar terjadi. Puluhan atau mungkin ratusan orang berlari mencari dari mana ledakan berasal. Kang Alif menghilang.

****

Seorang lelaki berbaju tahanan dengan nomor 015 menunduk di hadapanku.

“Bagaimana kabarmu, Kang Alif?” tanyaku.

“Baik.” jawab lelaki tersebut. “Bagaimana kabar Abah Kiai?” lanjutnya. Aku terdiam sejenak. Menatap Kang Alif lalu teringat dengan kejadian di hari itu.

Kang Alif, tahukah sampeyan, pesantren tak sehidup sebelum kejadian hari itu. Abah Kiai tak sesehat dulu. Berkali-kali polisi datang menginterogasi kawan-kawan kita bahkan keluarga ndalem. Sesekali aku melihat Abah Kiai menangis dalam wiridnya.

“Kabar Abah Kiai baik. Beliau dan keluarga ndalem titip salam untukmu,” jawabku. Kang Alif mengangkat wajahnya memandangku. Wajahnya kian tirus. Kesedihan tersirat dari sorot matanya yang makin sayu. Melihat kondisi Kang Alif saat ini, walaupun hatiku penuh sesak dengan perasaan kecewa, tak dapat dipungkiri bahwa aku juga merasa iba atas dirinya.

“Maafkan aku, Kang.” Kang Alif mengusap ujung matanya.

“Tindakanku mempermalukan pesantren.” Dengan suara bergetar Kang Alif menyesali perbuatannya di hadapanku.

“Aku mempermalukan Abah Kiai, pesantren, agama, keluarga, dan kawan-kawan. Maafkan aku. Tindakanku terlalu gegabah. Kuakui itu.” Kang Alif terus mengusap ujung matanya dengan kaus jingganya. Dirinya tampak semakin lusuh dan menyedihkan.

Melihatnya demikian, diam-diam hatiku juga merasa kecewa dengan diriku sendiri. Kecewa dan menyesal. Sebagai kawannya, kenapa tak kutahan dirinya di hari itu? Kenapa tak kuhiraukan perkataannya malam itu? Sebagai kawannya, kenapa aku tak dapat memutuskan harus berbuat apa di hari itu?

Amar ma’ruf nahi munkar. Konsep yang berulang kali diajarkan Abah Kiai hanya berputar-putar di kepalaku. Mengambang lalu menghilang seiring hembusan nafas. Bagai istilah asing yang tak pernah kupahami hakikatnya. Aku merasa gagal.

“Kalau sampean nanti bebas, kembalilah ke pesantren. Abah Kiai merindukanmu.” Aku berdiri dan meninggalkan Kang Alif yang tersedu-sedu di balik biliknya. Puluhan laron menyerbu memutari lampu Philips 12 Watt di ruang itu.

SELESAI

(Kelompok 5)

Lomba Menulis Dalam Rangka Haflah Akhirussanah 2024