Kebudayaan, pendidikan, ekonomi, moral dan sebagainya akhir-akhir ini sedang mengikuti tren-tren dunia. Bukanlah menjadi masalah yang besar jikalau tren-tren tersebut diterima dengan bijak sehingga membawa angin positif, tetapi pada kenyataannya justru dampak negatif globalisasi tidak kalah besar dengan dampak positifnya. Bahkan di Indonesia sendiri mengalami kecenderungan penurunan moral sebagai akibat dari dampak negatif globalisasi. Persebaran paham atau aliran-aliran agama, membaca buku-buku sekuler atau liberal atas nama tugas sekolah, pendirian mall-mall besar yang mengatasnamakan pemenuhan kebutuhan masyarakat, wakaf masjid yang menjamur tanpa adanya petani jamurnya adalah empat dari sekian banyak contoh topik terkini yang sedang mengglobal yang tanpa disadari bahwa kita sedang diseret menuju penurunan akhlak. Harus ada pagar dalam diri setiap individu untuk menghadapi kenyataan tersebut.

Merupakan kemustahilan untuk menghentikan arus globalisasi atau menghambatnya. Menghentikan arus globalisasi sama saja membunuh hasrat kreatifitas manusia dan kodrat manusia yang selalu ingin menciptakan hal yang baru. Namun, bukan berarti kita harus mengikuti arus globalisasi itu secara “mentah”. Minimal kita harus mampu memilih mana dampak positif dan dampak negatif, bahkan kalau sudah mencapai taraf mampu maka kita harus menciptakan tren positif baru yang lebih baik dengan mengutamakan urusan akhirat tentunya. Sehingga pada akhirnya kita mampu menjadi “pemain” dalam globalisasi itu, bukan “penonton” semata yang tak mendapatkan apa-apa melainkan kepuasan duniawi semata.

Globalisasi memanglah bukan sesuatu yang sederhana, dibutuhkan tekad yang kuat untuk membentengi diri dari pengaruh negatif yang ditimbulkannya. Memperkuat keimanan adalah salah satu langkah tepat untuk menghadapinya. Itupun bukanlah suatu perkara mudah, dikota-kota besar sangat mudah menemukan kajian-kajian keagamaan yang menyeret pada aliran-aliran agama tertentu. Cara yang digunakanpun sangat menggiurkan, halus dan meyakinkan, bagi orang awam tentu mereka tidak mengerti atau memperhatikan apakah landasan yang digunakan dalam kajian tersebut shohih, apakah imam kajan tersebut jelas guru-gurunya. Berbedahalnya ketika kita mondok di pesantren, landasan yang digunakan jelas, kitab-kitab ada hadistnya, imam atau gurunya juga bukanlah mereka-mereka yang belajar otodidak semata. Bagi orang yang menginginkan perbaikan dalam dirinya tentu akan memilih jalan terang.

Iya, mondok itulah jalan para pejuang yang menginginkan perbaikan diri. Santri yang mondok bukanlah mereka yang kuat baik jasadiyah, fikriyah maupun rukhiyahnya. Mondok bukan pula pilihan apalagi dipilihkan, melainkan mondok adalah suatu kebutuhan. Dan santri adalah mereka yang ingin membentengi diri dari pengaruh negatif kejamnya globalisasi. Lantas bagaimana dengan aktifitas sosial kita? Menimbang bahwa manusia adalah makhluk sosial, tanya seseorang. Mondok memang terkenal sebagai suatu pengekangan jiwa dengan segudang aturan tata tertibnya tetapi siapa bilang mondok tidak bisa beraktifitas sosial, buktinya 100% santri-santri Pondok Pesantren Salafiyah Al Muhsin tetap bisa menjalankan kegiatannya diluar pondok. Tata tertib itu ibarat petunjuk jalan, bagi para pengendara, tentu tidak ada petunjuk jalan yang akan mengarahkan pada jurang, tinggal bagaimana santri selaku pengendara dalam mengendarai kendaraannya. Setiap lika-liku jalan tidaklah semuanya dalam keadaan mulus-mulus saja. Terdapat jalan yang berlubang, tikungan tajam, kanan kirinya jurang, kompetitor, lampu merah dan sebagainya. Begitupula pada santri yang mondok di Al Muhsin, adakalanya kami mengikuti kegiatan pondok, adakalanya diberi tugas-tugas kampus, tugas dari orang tua dan juga kebutuhan pribadi lainnya. Tapi inilah kami para pejuang, bukan menyingkat waktu dalam berkegiatan tapi managemen waktulah yang kami perjuangkan. Saat sholat berjamaah, saat mengaji kitab, hafalan Qur’an, tadarus Qur’an, murojaah hafalan, saat mujahadah bersama, bersih-bersih pondok, mensukseskan akhirussanah, ziaroh asyik, mengikuti acara desa, mengajar TPA, olahraga bersama, refreshing bersama, mengerjakan tugas-tugas kampus, itulah saat-saat kami berjuang sambil terus memperbaiki niat.

Selanjutnya bukanlah soal teman, tapi soal diri sendiri. Bukan berarti individualis tapi realistis. Kenyataannya untuk menulis harus diawali dengan goresan titik, untuk mengubah suatu kaum harus diawali dari perubahan diri maka inilah saatnya untuk memulai perbaikan diri, saatnya untuk memperkokoh benteng pertahanan menghadapi globalisasi yang merajalela. Dan inilah kami putra putri Pondok Pesantren Salafiyah Al Muhsin yang memilih Pondok Pesantren Salafiyah Al Muhsin sebagai jalan perjuangan kami menunju perbaikan Ilahiyah.

Yogyakarta, 26 Mei 2015

Husnatun Nihayah