Islam adalah agama yang komprehensif dengan beragam syariat yang membimbing menuju tata aturan meliputi aspek sosial, budaya, politik dan lain-lain. Sumber hukum Islam yang paling utama adalah Al-Qur’an dan Hadis. Secara eksplisit, Islam juga menunjukkan rasa belas kasih Nabi Muhammad kepada hewan yang dimanifestasikan dalam hal syarat penyembelihan hewan kurban.
Hari raya kurban identik dengan penyembelihan hewan ternak ruminansia seperti sapi, unta, kambing, dan domba. Ada beragam metode penyembelihan yang digunakan dalam dunia peternakan. Mulai dari metode yang mengedepankan syari’at Islam sampai metode barat yang menggunakan pemingsanan (stunning) . Sejak dahulu kala, kekejaman terhadap hewan sudah terjadi mulai dari masa produksi, perawatan, transportasi sampai penyembelihan. Islam men-syari’at-kan metode penyembelihan tentunya bukan sekadar perintah langsung dari Allah, tetapi pasti memiliki tujuan utama di balik itu.
Nabi Bersabda dalam hadis riwayat Muslim Nomor 3615 yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ كَتَبَ الْإِحْسَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا الْقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذَّبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيحَتَهُ
“Sesungguhnya Allah telah mewajibkan supaya selalu bersikap baik terhadap setiap sesuatu, jika kamu membunuh, maka bunuhlah dengan cara yang baik, jika kamu menyembelih, maka sembelihlah dengan cara yang baik, tajamkan pisaumu dan senangkanlah hewan sembelihanmu (HR. Muslim no. 3615)”.
Dalam Fath al-Qorib al-Mujib fi Syarhi Alfadi Taqrib dijelaskan bahwa proses penyembelihan akan sempurna apabila memenuhi empat (4) syarat yaitu:
- Terpotongnya al-hulqum yaitu otot jalur sistem pernapasan atau tenggorokan
- Terpotongnya al-mari’ yaitu otot jalur sistem pencernaan atau kerongkongan
- Syarat pertama dan kedua harus terpotong secara bersamaan dengan sekali potong. Jika dilakukan dengan dua kali potong maka hewan yang disembelih haram. Jika ada bagian al-hulqum dan al-mari’ yang belum terpotong maka hewan yang disembelih dihukumi haram pula.
- Terpotongnya otot al-wajadaini yaitu otot yang berada di lipatan leher yang meliputi al-hulqum.
Proses penyembelihan dianggap cukup hanya dengan memotong dua saluran yaitu al-hulqum dan al-mari’. Bagian di balik al-wajadain tidak disunahkan untuk dipotong.
Metode penyembelihan yang umum dilakukan di Eropa adalah dengan metode stunning. Hewan sebelum disembelih akan dipingsankan terlebih dahulu dengan obat bius, dipukul, atau dialiri listrik lalu disembelih. Metode ini akan memudahkan dalam penyembelihan karena hewan tidak akan bergerak saat disembelih (Anonim, 2017). Dengan metode stunning hewan akan kehilangan kesadaran dan perasaan saat disembelih (Yaqub, 2009). Metode ini banyak digunakan di bidang peternakan dengan menembakkan peluru khusus yang diarahkan menuju sisi tanduk sampai hewan tidak sadarkan diri. Saat itulah hewan disembelih dengan harapan tidak merasakan sakit. Selain itu, bisa juga dengan sengatan listrik sebesar 200-400 volt selama 2 detik.
Penelitian mengenai perbandingan penyembelihan metode syari’at dan metode stunning dilakukan oleh Prof. Wilhelm Schulze dan Dr. Hazem yang merupakan staff ahli peternakan dari Universitas Hannover Jerman. Penelitian keduanya bertujuan untuk menjawab pertanyaan mengenai penyembelihan secara Islam dan penyembelihan Barat secara pemingsanan dari segi keefektifan dan paling tidak menyakitkan.
Penelitian diawali dengan proses adaptasi sapi dengan pemasangan alat ECG (Electro Cardiograph) yang merekam aktivitas jantung dan EEG (Electro-Enchephalograph). EEG berupa microchip yang terpasang di otak sapi dan bersentuhan dengan titik rasa sakit sehingga bisa direkam bagaimana intensitas kesakitan sapi saat disembelih. Setelah kira-kira masa adaptasi telah cukup, sapi dilakukan penyembelihan secara syari’at dan secara prosedur Barat.
Penyembelihan versi syariat Islam sesuai dengan persyaratannya yaitu dengan pisau tajam agar memotong sempurna saluran makan (kerongkongan), saluran napas (tenggorokan), dan saluran pembuluh darah (arteri karotis dan vena jugularis). Dalam metode syariat Islam, hewan yang disembelih tidak melalui pembiusan atau pemingsanan. Berbeda dengan metode Barat yang mengedepankan pembiusan terlebih dahulu dengan alasan menekan rasa sakit. Namun, manakah yang sebenarnya mampu menekan rasa sakit pada saat penyembelihan, metode Islam atau Barat?
Hasil penelitian menunjukkan adanya beberapa poin penting yaitu sebagai berikut.
Pada metode syariat Islam setelah penyembelihan tidak ada perubahan grafik EEG yang artinya tidak ada rasa sakit yang tercacat di 3 detik pertama. Kemudian pada 3 detik kedua terjadi perubahan grafik EEG yang memperlihatkan rekaman dari otak kecil yaitu proses yang mirip dengan tidur nyenyak (deep sleep) sampai akhirnya kesadaran sapi benar-benar menghilang. Waktu itu juga tercatat peningkatan aktivitas jantung melalui rekaman ECG.
Peningkatan aktivitas jantung memperlihatkan terjadinya pemompaan jantung yang benar-benar kuat sehingga menarik semua darah dari seluruh tubuh untuk keluar. Proses ini terjadi akibat gerakan refleks antara spinal cord (sumsung tulang belakang) dan jantung sehingga semua darah keluar dari saluran yang terpotong. Di sisi lain, grafik EEG mengalami penurunan tajam sampai ke level angka nol. Peneliti menerjemahkan dengan tidak adanya rasa sakit yang dialami oleh sapi saat disembelih. Hasil akhir dari keluarnya semua komponen darah menyebabkan daging dalam hal ini sapi sehat dan layak konsumsi. Bahkan sesuai dengan standar makanan sehat Good Manufacturing Practise (GMP).
Pada penyembelihan metode Barat, sapi akan diperlakukan secara khusus lalu terjatuh dan pingsan. Saat sapi tidak bergerak akan dilakukan proses penyembelihan dengan kondisi sapi tidak meronta-ronta. Hasil penelitian menunjukkan bahwa darah yang dikeluarkan hanya sedikit berbeda dengan saat disembelih tanpa pemingsanan. Tercatat data setelah sapi pingsan, grafik EEG naik secara drastis yang diterjemahkan dengan indikasi rasa sakit yang diderita oleh sapi akibat pemukulan di bagian kepala sampai akhirnya pingsan. Grafik sebaliknya ditunjukkan dengan penurunan tajam ECG sampai ke batas terbawah yang artinya jantung sapi dipaksa sampai berhenti berdetak. Akibatnya darah dari seluruh tubuh tidak tersedot keluar sehingga masih ada yang terperangkap di pembuluh darah tubuh sapi.
Terhambatnya proses darah keluar menunjukkan bahwa ada bekuan darah di urat darah dan daging sehingga sifat daging menjadi tidak sehat. Bagaimanapun juga timbunan darah beku pada ternak saat disembelih menjadi medium terbaik untuk pertumbuhan mikroorganisme pembusuk. Hal ini bisa merusak kualitas daging.
Penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim pun membuktikan bahwa penggunaan pisau yang tajam sebagai syarat penyembelihan tidak pernah menyentuh saraf pendeteksi rasa sakit. Hal ini disimpulkan bahwa peristiwa sapi meronta-ronta bukanlah ekspresi rasa sakit, tetapi hanya otot dan saraf yang terkejut yaitu saat darah mengucur dengan derasnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh Leila Corcoran (BIC News, 1997) menulis artikel yang berjudul “Cattle stun gun may heighten madcow” yang menyimpulkan bahwa penyembelihan yang tidak disertai pemingsanan adalah yang terbaik karena kualitas daging akan lebih terjaga. Terkait dengan peristiwa ternak dalam hal ini sapi meronta-ronta adalah dampak dari fakta sapi membutuhkan waktu lama untuk benar-benar mati (Blackmore (1984), Anil et al (1995)).
Bukti saintifik tersebut sangat memperlihatkan bahwa syariat Islam tidak sekadar mengatur bagaimana proses menyembelih yang halal dan thayyib, tetapi ada penjelasan ilmiah di balik itu yang sebenarnya sangat jelas bahwa Islam tidak pernah mengabaikan rasa belas kasih pada hewan ternak saat disembelih. Jauh sebelum adanya teknologi perekaman ECG dan EEG, Islam telah mengatur sedemikian rupa untuk lebih memperhatikan perasaan hewan. Bahkan lebih lanjut, saat proses penyembelihan seekor hewan, maka hewan yang lainnya tidak diperbolehkan melihat proses penyembelihan. Hal ini sudah sangat jelas Islam tidak pernah mengabaikan perasaan yang dirasakan oleh hewan.
Oleh : Arina Zulfa
Referensi:
Al Ghazi, Abu Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Qosim. 2017. Fathu al-Qorib al-Mujib fi Syarhi Alfadi at-Taqrib. Kediri: Maktabah As-Salam.
Rahman S. A. 2017. Religion and Animal Welfare-An Islamic Perspective. Animals : an open access journal from MDPI, 7(2), 11. https://doi.org/10.3390/ani7020011.
Schulze, W., H. Schultze-Petzold, Hazem, A.S., Gross, R. 1978. Experiment fot the objectification of pain and conciousness during conventional (captive bolt stunning) and religiously mandated (ritual cutting) slaughter procedures for sheep and calves. Deutsche Tieraerztliche Wochenschrift (German veterinary weekly). Volume 85: 62-66. Diakses dari https://idoc.pub/documents/summary-report-from-hanover-university-prof-schulze-and-dr-hazim-zpnxzo9jee4v pada 16 Juli 2022 pukul 14.50.
Yaqub, Ali Mustafa. 2009 Kriteria Halal Haram Untuk Pangan, Obat, dan Kosmetika Menurut Al Qur’an dan Hadis. Jakarta: PT Pustaka Firdaus.