Perempuan Yang Wara’ dalam Kesehariannya

oleh Khoirotun Nisa (santriwati al-Muhsin)

Ibu Nyai Alfulaili adalah seorang perempuan kelahiran Kebumen. Seorang perempuan yang kini hidup dan mengabdi di Yogyakarta bersama dengan sang suami, Abah KH. Nasrul Hadi. Beliau merupakan pengasuh Pondok Pesantren Salafiyyah Al-Muhsin Condongcatur Depok Sleman Yogyakarta. Ibu Nyai Alfulaili merupakan alumni dari Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an An-Nur Ngrukem. Namun karena Bu Nyai Ngrukem yang waktu itu sedang sakit akhirnya beliau memutuskan untuk pindah di Pesantren di Tegalarum Borobudur. Pesantren ini diasuh oleh Ibu Nyai Istiqomah binti KH. Nawawi yang merupakan pendiri Pondok Pesantren An-Nur.

Ibu Nyai Alfulalili merupakan putra dari KH Nuruddin, seorang Kiai di kampung waktu itu dan Ibu Nyai Hj. Siti Handasah yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil sebagai guru di Madrasah Ibtidaiyah (MI). Walau dengan latar belakang dari ibu yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) namun ibu dari Ibu Nyai Alfulaili mengharuskan dari putra-putranya agar kelak menjadi penghafal Al-Qur’an bagi perempuan dan mendalami kitab bagi yang laki-laki.   

Semenjak kecil ibu Nyai sudah dididik masalah agama dan terlahir dalam keluarga yang sederhana. Bahkan dulu saat beliau sedang duduk di bangku MI tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya karena tidak adanya biaya. Sedangkan ibundanya yang hanya sebagai guru harus menghidupi ke sembilan putra-putrinya waktu itu. Yang pada akhirnya beliau hanya dimasukkan ke Pesantren An-Nur dan Ponpes di Tegalarum Borobudur hingga lulus dan menjadi seorang hafidzoh sampai saat ini.

Dalam kesehariannya di Pesantren ibu Nyai setor hafalan baru setiap ba’da Maghrib. Lalu habis Isya’ istirahat bagi yang tahfidz agar ada waktu untuk nderes. Pagi harinya dilanjut deresan dengan hafalan yang sudah pernah disetorkan. Jam setengah sembilan dilanjut dengan tepukan, yakni kegiatan deresan bersama-sama antara putra dan putri lima juz dan diloncat-loncat agar cepat khatam. Kegiatan ini dilakukan setiap harinya dan dipimpin langung oleh Almaghfurlah KH. Nawawi. Lalu siang hari dilanjut istirahat dan nderes agar sore hari bisa mengikuti madrasah diniah khusus santri tahfidz yang berlangsung selama kurang lebih satu jam.

   Semasa hidupnya di Pesantren ibu Nyai Alfulaili tidak pernah melanggar aturan, dan termasuk santri yang sangat taat terhadap guru. Bahkan saking inginnya beliau agar ilmunya bermanfa’at beliau selalu bantu-bantu ndalem saat sedang udzur dan tidak sedang tidak punya tanggungan Al-Qur’an, walau beliau bukan santri ndalem. Suatu hari beliau pernah terkena sidang di Pesantren bukan karena beliau yang melanggar aturan, tapi karena waktu itu diajak pergi oleh seseorang yang beliau kira sudah mengizinkan sekalian dengan pihak pesantren. Walau pada akhirnya beliau sendirilah yang mengklarifikasi kasus tersebut saat sidang berlangsung. Beliau tidak marah atau bagaimana, dan hanya bilang “ya sudah buat pengalaman saja”. Begitu lembut dan pemaaf hati beliau ini.

Dalam kesehariannya sebagai pengasuh beliau adalah seorang yang sangat wara’ dalam hal apapun. Hal ini bisa diamati dari nasihat-nasihat yang selalu beliau tuturkan kepada para santri khususnya santriwati. Menurut dari pengakuan salah seorang santriwati saat sedang diajak berpergian beliau tidak pernah membeli makanan secara sembarangan. Karena menurut beliau makanan yang syubhat apalagi yang haram pasti akan bepengaruh buruk bagi kualitas ibadah kita. Bahkan saat mengajak salah seorang santriwati untuk berbelanja, beliau begitu selektif saat memilih produk kosmetik apakah sudah berlabel halal atau belum. Tidak hanya dalam memilih makanan maupun produk yang akan dikonsumsi, tapi beliau juga begitu wara’ dalam hal memasak. Yang dimana bahan yang akan dimasak harus dicuci semuanya termasuk alat masak hingga steril dan bersih agar terhindar dari najis maupun kotoran yang tidak terlihat. Masalah berpakaian beliau juga sangat menjaga. Beliau bercerita kalau selalu memakai rok maupun gamis, dan tidak pernah memakai celana panjang dalam kehidupan sehari-hari. Karena dalam keluarganya tidak ada perempuan satu pun yang ketika berpergian maupun dalam keseharian memakai celana panjang. Karena menurut beliau ada ulama yang pernah mengatakan bahwa seorang wanita yang menyerupai laki-laki maupun sebaliknya itu termasuk tanda-tanda kiamat. 

Beliau juga berpesan kepada para santri khususnya kepada mereka yang saat ini sedang   berjuang untuk mengkhatamkan hafalan Al-Qur’annya.

“Bahwasannya tidak ada tirakat apapun kecuali murajaah yang terus diulang-ulang, mengurangi maksiat, karena maksiat itulah yang membuat hati kita gelap dan sumpek. Kurangi bermain yang tidak perlu, dan yang paling penting ya nderes dan nderes. Karena memperbaiki itu jauh lebih sulit daripada membuat, dan pasti semua yang menghafalkan Al-Qur’an akan merasakan itu. Niatkan untuk ibadah dan juga untuk mencari ridlo Allah. Tambah semangat. Meminta kepada Allah agar dimudahkan. Hati-hati dalam memilih makanan. Jaga diri dari omongan yang tidak berguna. Jangan niatkan hafal Al-Qur’an untuk mencari title, karena hidup di dunia tidaklah lama maka dari itu selain menghafal orang itu juga harus bertindak laku sesuai dengan Al-Qur’an dan pahami isinya,”tutur beliau.

Repost bangkitmedia.com

Dipublikasikan pada 18/01/2019

https://bangkitmedia.com/belajar-wirai-dari-ibu-nyai-alfulaili/