Menjalani kehidupan sebagai santri laksana mengunyah permen karet, terasa alot saat dikunyah, tetapi akan berasa manis, padahal sebentar lagi manisnya akan hilang dan tidak boleh ditelan. Kalau ditelan akan berbahaya bagi saluran pencernaan. Tentunya di tiap legitnya lapis kehidupan, tidak selalu harapan sesuai dengan realitas sunnatullah. Ada banyak hal yang perlu di syukuri dengan tahmid bil lisan maupun bil hal. Kesemuanya jalur hidup, baik suka maupun duka harus dijalani dengan sabar.
Santri yang nyambi kuliah tentunya tidak mudah di jalani. Terkadang di beberapa situasi akan ada pertempuran yang memaksa untuk memilih salah satu atau kalau beruntung bisa mendapatkan dua sekaligus tanpa terjatuh pada jurang dilema. Rasa berat yang terbesit di sanubari santri mungkin bisa bergejolak bahkan pemikiran ingin melepas nyantri juga bisa saja. Sekelumit santri mungkin saja menganggap berat, mempertahankan ngaji bersandingan dengan kuliah, masih harus hafalan, lalaran, dan lain-lain. Padahal tugas kuliah juga menanti untuk dikerjakan. Monolog dalam diri mungkin saja “Enak ya jadi anak kost, bisa rebahan, nugas tanpa kepikiran ngaji. Bisa main, hangout bareng temen.”
Perasaan berat yang menyiksa diri memang sungguh mengkhawatirkan jika dibiarkan tumbuh. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surat Az-Zumar ayat 10
قُلْ يَٰعِبَادِ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا۟ فِى هَٰذِهِ ٱلدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ ٱللَّهِ وَٰسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى ٱلصَّٰبِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ
Artinya : “Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperolah kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.”
Dilansir dari sebuah artikel, SANTRI adalah akronim dari kata “Sabar Ngantri”. Nah, dari akronim tersebut, apa yang ada di dalam benak sobat santri? Santri sudah sangat lekat dengan tingkah laku yang wajib dilakukan yaitu bersabar. Dalam artian santri, sabar menunjukkan efektivitas santri dalam pengendalian terhadap hawa nafsu yang timbul dalam dirinya atau orang lain.
Saat ini, santri telah memasuki era disrupsi yaitu era yang dipenuhi dengan inovasi atau perubahan secara fundamental dalam banyak sektor. Tentunya sobat sudah kenal adanya robot, internet, Artificial Intelligence (AI), Augmented Reality (AR) dan lain-lain. Potensi disrupsi mengubah seluruh tatanan lama yang serba fisik menjadi serba digital dengan inovasi teknologi. Mau tidak mau santri harus menghadapi era disrupsi yang carut marut. Beberapa hal seperti memesan makanan, berbelanja, pesan tiket kereta, dan lain-lain semuanya bisa dilakukan dengan duduk manis dan menarikan jemari di atas touchscreen smartphone. Sungguh, godaan santri adalah ketika ada diskon fantastis yang ditawarkan warung makan atau toko online.
Mengenai sabar yang terhimpit di sela-sela era disrupsi memang sungguh menyulitkan. Tidak seperti zaman dulu, saat teknologi masih konvensional, misalnya masih menggunakan kentongan, bedug, dan alat komunikasi tradisional lainnya. Dalam keadaan itu, santri akan lebih fokus memperdalam ilmu agama. Berbeda dengan zaman sekarang, dengan godaan terbesar agar tetap eksis di media sosial. Bahkan mungkin kalau bisa, mendingan tidak usah mengenal yang namanya internet seperti orang yang hidup di pedalaman. Namun, apakah bisa, kita hidup dengan lepas tangan dari teknologi? Tentunya sangat minim kemungkinannya. Sudah bukan lagi zamannya getok tular dalam penyebaran informasi, apalagi santri sebagai kader dakwah agama Islam di era ini.
Salah satu bentuk kesabaran yang bisa dilakukan santri adalah menahan derita dari melihat hal-hal yang dirasa tidak perlu. Misalnya scroll Instagram, TikTok, YouTube, dan aplikasi sosial media lainnya. Namun bukan berarti lepas dari semua itu, informasi tetap dibutuhkan untuk memperkaya pengetahuan umum di masyarakat. Santri harus bisa menahan derita alias sabar dalam menahan candu media sosial. Sekalinya dituruti untuk scroll sosmed, tak terasa sudah berjam-jam berlalu yang awalnya ingin mencari informasi tertentu merembet ke mana-mana. Pura-pura berdalih biar tidak ketinggalan informasi.
Maka dari itu, diperlukan manajemen waktu yang tepat, yakni mana yang akan diprioritaskan dibandingkan yang lain. Hal ini karena santri nyambi kuliah sangat rentan akan bermain sosial media saat mengerjakan tugas. Dampaknya pada kegiatan santri di pondok yaitu izin atau skip kegiatan dengan alasan mengerjakan deadline. Hal ini tentunya sangat menganggu tujuan mondok yang sebenarnya. Memang tidak mudah dalam menghadapinya, tapi dengan kesabaran menahan hawa nafsu yang mengajak pada bermain sosial media, bisa dikurangi. Setiap santri dengan sifat dan kepribadian yang berbeda mungkin bisa berjuang mengelola diri. Hanya diri santri seorang yang paham akan diri sendiri lah pelopor yang utama.
Dengan pengelolaan terhadap hal tersebut, santri bisa lebih fokus dalam kegiatan pondok seperti menghafal, lalaran, muroja’ah, dan lain-lain. Segala kesulitan yang di hadapi santri kuliahan adalah ujian yang menuntut kesabaran dalam menepis godaan era disrupsi. Pesantren telah memfasilitasi dengan sekelumit kegiatan yang bisa untuk mendukung terjaganya nilai ke-santri-an. Kegiatan Madrasah Diniyah, ziarah, sholawatan, ro’an, kegiatan bakat minat, dan lain-lain. Dengan mengikuti kegiatan pondok, bisa dibilang godaan-godaan yang tidak perlu bisa ditepis.
Berkaitan dengan kegiatan pondok, berkali-kali Abah Nasrul Hadi menyampaikan menjadilah santri yang multitalenta. Santri putra yang selain paham ilmu agama juga bisa nukang, bisa manfaat ilmu kuliah dan sebagainya. Santri putri yang paham ilmu agama bisa menerapkan ilmu kuliah, bisa masak, bisa menjahit, dan lain-lain. Pokok kesabaran santri adalah menahan segala nafsu seperti keinginan hangout, jalan-jalan, nongkrong, dan sejenisnya yang biasa dilakukan sejumlah mahasiswa kost saat jam kuliah longgar.
Ibu Nyai Alfu Laili seringkali menekankan bahwa jangan terbalik yaitu santri nyambi kuliah bukan kuliah nyambi mondok. Hal ini jika dipahami, santri adalah kunci utama dalam menjalani kehidupan. Untuk bisa menjalani dan semangat dalam kuliah diperlukan menjadi santri dulu agar membangun fondasi yang kuat. Ibarat pohon, sebelum menumbuhkan batang, dahan, dan segala tetek bengek yang berhubungan dengan tumbuhan diperlukan akar yang kuat agar tahan dengan segala bentuk tantangan di masa depan. Dengan bekal ilmu agama yang kuat, santri tidak akan mudah larut dalam carut marutnya zaman yang seakan menuhankan teknologi. Banyak sektor yang seolah melupakan aturan agama dalam sudut penemuannya. Harapannya akan menjadi santri yang mengembangkan ilmu pengetahuan dengan rapat medekap syari’at dan agama. Maka kata yang pantas diucapkan adalah “Alhamdulillah” bahwa Allah menempatkan sebagai santri sekaligus mahasiswa.
Mohon koreksinya,
Arina Zulfa
Editor : Khusnul Khotimah
Referensi :
https://tafsirweb.com/8672-surat-az-zumar-ayat-10.html
Kuncoro, Sri. 2018. Filosofi Santri dari Makna Kata dan Perilaku yang Perlu Diteladani. Diakses pada 16 April 2022 pukul 01.27. https://www.matsansaga.com
Purba, N.S. 2020. Memahami Era Disruption. Diakses pada 16 April 2022 pukul 02.04. https://www.kompasiana.com/nsaripurba/5e7b15f9d541df78dd191a72/memahami-era-disruption