Mungkin bagi kita yang sedang nyantri atau setidaknya pernah punya pengalaman sebagai seorang santri pastinya tak asing lagi dengan kata-kata “ Barokah Guru “. Bagi kalian yang sudah lama mondok atau nyantri di sebuah pesantren pasti sudah paham betul seperti apa barokah guru itu.

Barokah dilihat dari segi bahasa ialah nikmat. Atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang banyak dan melimpah. Jika ditilik secara istilah bisa diartikan sebagai ziyadatul khoir, yakni bertambahnya kebaikan, dan jika dikaitkan dengan guru, maka bisa diartikan sebuah nikmat yang datang dari guru kita, dan cara mendapatkannya adalah ketika kita telah berbuat sesuatu kepada guru kita dengan ikhlas.

Yupss..hal  inilah yang paling dikejar-kejar oleh para santri yang memang sudah cinta mati dengan guru-guru dan juga ilmunya. Namun jika saya amati akhir-akhir ini para pencari barokah guru sudah tidak se “greget” para pencari barokah guru pada zaman guru-guru kita terdahulu.  Sekarang sudah jarang beberapa santri yang terlihat berebut untuk meminum minuman bekas gurunya atau berebut sisa makanan dari gurunya, bahkan bisa jadi malah jijik untuk melihatnya saja. Santri yang kebelet pengen didawuhi atau di perintah gurunya, bahkan santri yang merelakan badannya kotor, capek, hingga terluka hanya demi mendapat ridlo dan barokah darinya pun sudah sangat jarang.  Walaupun tidak semua santri dan tidak semua pesantren.

Contohnya saja seperti kisah Hadratussyaikh Sang Kyai legendaris KH. Hasyim Asy’ari, pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul ‘Ulama. Beliau Sang Hadratussyaikh adalah putra ketiga dari 11 bersaudara pasangan KH. Asy’ari dan Nyai Halimah. Yang dari garis keturunannya merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir (Sultan Pajang) dan seluruh nasab beliau melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH. Hasyim juga memiliki keturunan sampai dengan Rasulullah SAW.

Singkat cerita, dahulu ketika beliau nyantri kepada Syaikhona Kyai Kholil Bangkalan, Salah seorang wali pendiri pondok pesantren Bangkalan, Madura. Beliau disuruh gurunya untuk angon sapi dan kambing, beliaupun tidak pernah mengeluh dan menjalankan dengan penuh keikhlasan perintah apapun dari gurunya itu. Karena beliau sadar ilmu dari gurunya akan berhasil diperoleh apabila sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang sangat dicari mbah Hasyim.

Suatu hari, seperti biasa ketika Mbah Hasyim sedang memasukkan sapi dan kambing ke dalam kandangnya, KH. Hayim langsung mandi dan sholat asar. Sebelum sempat mandi beliau melihat sang guru sedang duduk termenung dan kelihatan sedang bersedih. Tanpa basa-basi Kyai Hasyim memberanikan diri untuk bertanya.

“ Ada apa wahai guru, kelihatannya panjenengan sedang bersedih?”

“ Bagaimana aku tidak sedih wahai muridku, cincin pemberian istriku jatuh di kamar mandi lalu masuk ke lubang pembuangan akhir” jawab Syekh Kholil.

Mendengar jawaban sang guru Kyai Hasyim meminta izin untuk mengambil cincin itu dari septitanc, dan Mbah Yai Kholil pun memberi izin. Setelah itu Kyai Hasyim langsung masuk ke kamar mandi dan membuka septitanc. Mungkin bisa dibayangkan seperti apa isi dari septitank itu, pastinya sangat bau dan menjijikkan jika dilihat. Bahkan bisa jadi sebagian dari kita ada yang merasa jijik ketika mendengar nama septitanc itu sendiri. Namun lain dengan Mbah Hasyim Asy’ari, karena saking cintanya kepada sang guru, beliau tak menghiraukan betapa jijiknya isi septitank itu. Beliau langsung masuk dan mencari cincin itu dengan cara mengurasnya. Setelah dikuras akhirnya cincin itu ditemukan, walaupun keadaan mbah Hasyim yang begitu bau dan kotor penuh dengan kotoran manusia dan lain-lain.

Betapa bahagianya Kyai Kholil setelah tau cincin itu berhasil ditemukan. Hingga terucap do’a: Aku ridlo padamu, wahai Hasyim, kudo’akan karena ketulusanmu dan juga pengabdianmu kepadaku maka derajatmu ditinggikan. Engkau akan jadi orang besar, tokoh panutan, dan semua orang akan patuh padamu.

Demikinlah do’a yang terucap dari seorang guru yang juga seorang waliyullah yang pastinya do’a itu mustajab, dan dapat dibuktikan dengan segala jasa-jasanya hingga nama besarnya yang harum terkenang hingga saat ini. Menjadi pendiri organisasi Islam terbesar di Indonesia dan menjadi tokoh yang sangat patut diteladani akhlaknya.

Dari kisah di atas memberi pelajaran kepada kita semua, bahwa barokah guru itu sangatlah penting dan bisa dibilang wajib untuk kita cari. Karena barokah dan ridlo gurulah yang kelak akan menentukan sebagian dari keberhasilan ilmu kita, manfa’at atau tidaknya ilmu yang kita cari dan kita perjuangkan selama bertahun-tahun, jangan sampai hanya karena tidak adanya ridlo guru ilmu hasil jerih payah kita menjadi tidak  manfa’at bahkan terlaknat atas ilmu tersebut.Na’udzubillah.

Karena jika dilihat di zaman yang semakin modern dan canggih saat ini memang banyak santri yang begitu cerdas, progresif, bahkan bisa dibilang jenius, namun sangat disayangkan karena banyak sebagian dari mereka yang kehilangan akhlakul karimah di hati mereka, khususnya rasa ta’dlim kepada guru yang semakin lama semakin menurun. Padahal gurulah yang berperan penting dalam hidup kita bahkan saking mulyanya guru melebihi orang tua, salah seorang ulama yaitu pengarang  kitab Ta’lim Muta’alim Syekh Az-Zarnuji mengabadikan dalam sebuah syiir yang Indah  dalam sebuah nadzom Alala.

أُقَـدِّمُ أُسْتَــاذِىْ عَلَى نَفْسِ وَالِدِىْ ۞ وَاِنْ نَالَنِىْ مِنَ وَالِدِى الْفَضْلَ وَالشَّرَفَ

Disikke ingsun ing guru ngerikke ing bopo senajan oleh kamulyan songko bopo.

Saya lebih utamakan ustadzku dari pada orang tua kandungku, meskipun aku mendapatkan keutamaan dan kemulyaan dari orang tuaku.

 

فَذَاكَ مُرَبِّ الرُّوْحِ وَالرُّوْحُ جَــــوْهَرُ ۞ وَهَذَا مُرَبِّ الْجِسْمِ وَالْجِسْمُ كَالصَّدَفْ

Dene guru iku kang becik kang ngithik-ngithik ing nyowo, dene nyowo iku den serupakkae koyo suco

Ustadzku adalah pembimbing jiwaku dan jiwa adalah bagaikan mutiara, sedangkan orang tuaku adalah pembimbing badanku dan bada bagaikan kerangnya(tempat bagi jiwaku).

Dalam syair di atas (syair pertama) dijelaskan bahwa syekh Az-Zarnuji yang sangat memulyakan guru itu lebih mendahulukan apapun dari guru ketimbang orang tuanya sendiri. Dalam syair kedua dijelaskan  bahwa guru itu yang mengatur hati dan jiwa si anak dan hati itu diibaratkan sebagai mutiara sedangkan orang tua hanya sebatas merawat badan si  anak dan badan ialah yang membungkus jiwa, sedangkan badan ibarat kerangnya. Jadi ibarat kerang dan mutiara, derajat mutiara lebih tinggi dari pada bungkusnya, yaitu kerang.

Maka dari itu mulai sejak dini tanamkan dalam hati kita rasa cinta yang mendalam kepada guru-guru kita dan juga ilmu-ilmu yang mereka ajarkan, ta’dlimlah kepada keluarga dan dzuriah-dzuriahnya, janganlah sekali-kali berani melawan perintahnya apalagi sampai membicarakan kejelekan-kejelekannya dari belakang, sekalipun kita tahu itu benar adanya. Karena hal-hal yang mungkin tidak kita sadari tersebut itulah yang menyebabkan ilmu kita tidak bermanfa’at. Carilah barokah sebanyak-banyaknya dari guru kita, carilah ridlonya hingga ridlo Allah akan sampai kepada diri kita. Yakinlah barokah akan datang di saat yang tepat, tepatnya ia akan datang ketika kita sudah berstatus sebagai alumni. Bagi yang tidak nyantri barokah itu bisa juga dicari dari guru ngaji kita dimanapun berada. Tidak akan ada yang tahu rencana indah yang Allah janjikan, kecuali hanya diri-Nya saja yang tahu. Wallahu a’lam bisshowwab.

Hasil karya dari santriwati PPs Al-Muhsin Nglaren

Penulis : Sasa Annisa Sleman