Mengaji ilmu nahwu adalah hal sangat penting bagi seorang santri yang akan mempelajari kitab kuning. Pada umunya, kitab kuning bertuliskan pegon tanpa syakal. Dalam pemahaman umum, nahwu adalah bapaknya ilmu akan lengkap dan mantap jika disandingkan dengan ilmu shorof yang dijuluki sebagai ibunya ilmu.

Pada umumnya, semua kitab ilmu nahwu diawali dengan kitab Jurumiyah, lalu ‘Imrithi, sampai Alfiyah Ibnu Malik selalu memiliki urutan tertentu yaitu di awali oleh bab kalam. Hal ini karena kalam adalah landasan yangg melatarbelakangi terbentuknya ilmu nahwu. Dengan demikian, kalam menjadi ilmu dasar yang wajib diketahui terlebih dahulu sebelum masuk pembahasan lebih jauh. Ibarat ketika belajar mengendarai kendaraan, terlebih dahulu mempelajari ilmu dasar pengoperasian mesin seperi bagaimana cara menghidupkan mesin, mematikan mesin, dan lain-lainya.

I’rob adalah perubahan-perubahan yang terjadi di akhir kalimah yang disebabkan karena perbedaan ’amil  yang memasuki baik secara lafaz atau taqdiri (kira-kira). I’rab terbagi dalam 4 macam yaitu rofa’, nashob, khofdz (jer), dan jazm.

Diantara semua pembagian i’rob, yang paling utama adalah i’rob rofa’. Tanda I’rab rofa’ ada 4 yaitu dhammah, wau, alif, dan tsubutunnun (tetapnya nun). Menilik dari tanda-tanda tersebut, ada makna filosofis yang terkandung sebagai bekal santri dalam mengarungi samudera ilmu di pesantren.

Dalam kamus, rofa’ berasal dari kata rofa’a – yarfa’u yang artinya luhur, tinggi, naik, meningkat, dan lain-lain. Kita sepakat, mengartikan kata tinggi itu secara maknawi adalah maqom yang tinggi atau derajat yang tinggi. Maka, jalan (wushul) yang bisa dijalani untuk mencapai maqom yang tinggi adalah melalui tangga-tangga yang termanifestasikan dalam ‘alamat i’rob rofa’. Tentunya untuk bisa meningkat derajat tinggi, perlu adanya medium atau jalur khusus sehingga sampai ke tahap tersebut.

Tanda yang pertama adalah dhommah (ُ), tanda yang paling utama dari i’rob rofa’. Keluhuran itu diwujudkan dalam harakat dhammah yang posisinya di atas huruf hijaiyah. Sesuai dengan pengertian i’rob, harakat menandai akhir dari kalimat. Dhommah berasal dari kata dhommun yang artinya berkumpul. Kata dhommun ini dikemas secara perspektif dalam harakat dhommah. Secara filosofi, untuk mencapai derajat tinggi harus dengan berkumpul atau bermuamalah dengan orang lain. Dalam ilmu sosial, manusia tidak bisa lepas dari bersosialisasi atau berkumpul dengan orang lain. Tak terkecuali adalah urusan ilmu, ulama tasawuf Imam Abu Yazid Al Busthomi (w. 874 M)  menyampaikan bahwa.

مَنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ أُسْتَاذٌ فَإِمَامُهُ الشَّيْطَان

Artinya: “Barang siapa yang tidak mempunyai guru, maka imamnya adalah setan”.

Secara tersurat, seorang santri harus belajar kepada guru atau berkumpul dengan orang-orang sholeh. Dalam tembang Tamba Ati yang ke-3 berbunyi, “Wong kang sholeh kumpulana”. Tembang ini mengajarkan bahwa berkumpulah dengan orang sholeh karena semua hal baik yang dilakukannya bisa menjadi pelajaran berharga seperti dari segi akhlak, luasnya ilmu, dan lain-lain. Bagi santri yang sedang belajar, terbentuknya kontak sosial sehingga akan terjadi saling menebarkan kebaikan. Misalnya jika ada satu bab yang salah dalam memahami, bisa dibenarkan oleh yang lain.

Tanda rofa’ yang kedua adalah wau (و). Melihat arah lengkunganya, wau mengarah ke bawah kemudian mendatar. Bahasa matematikanya adalah kurva turun lalu datar dengan arah negatif. Dengan kata lain, maknanya adalah tawadhu. Secara etimologi, tawadhu memiliki asal dari kata wadha’a yag artinya merendahkan. Selain itu juga berasal dari kata ittadha’a yang artinya merendahkan diri. Secara istilah, tawadhu adalah merendahkan diri dari sesuatu yang diagungkan (Rusdi, 2013). Secara terminologi, tawadhu adalah rendah hati, yang menjadi lawan dari takabbur atau sombong (Ilyas, 2007).

Dalam menuntut ilmu, santri jangan sampai bersikap sombong baik dengan guru maupun dengan sesama santri. Apalagi jika guru memiliki usia lebih muda atau materi yang disampaikan guru sudah diketahui santri sebelumnya. Tetaplah, adab santri adalah tawadhu dan seakan-akan ilmu yang diterima adalah ilmu yang baru pertama kali didengar. Seperti perumpamaan padi semakin berisi semakin merunduk, jangan lantas besar kepala karena sudah pandai di bidang ilmu tertentu. Selain itu dihadapan Abah yai hendaknya tetap menjaga adab santri yang menunduk, ndengkul, dan lain-lain.

Tanda ketiga adalah alif (ا). Sesuai dengan bentuk hurufnya yaitu tegak dan lurus. Saat ditulis, alif akan lurus tanpa ada bengkok. Maka, santri juga perlu tegak, lurus, berpendirian kuat dan istiqomah dalam menjalani setiap prosesnya. Hendaknya santri bersikap, bertindak, dan berpikir lurus. Selurus huruf alif, santri perlu memiliki keteguhan dalam menjalankan apapun supaya tidak mudah goyah. Kehidupan adalah hal yang penuh dengan permasalahan dan ujian yang ketika tidak punya pegangan bisa menjatuhkan di medan kehidupan. Sebisa mungkin menjaga diri dari hal-hal yang bisa merusak citra santri.

Tanda keempat adalah tsubutunnun atau tetapnya nun (ن). Nun dalam penulisan huruf hijaiyah, berupa lengkung seperti mangkok yang tersenyum. Dalam istilah jawa dikenal dengan makna nyadong sehingga harus disertai mujahadah. Di bagian tengah-tengahnya agak naik, terdapat tanda sebuah titik. Secara filosofis dapat diartikan bahwa sebagai santri, esensi dari semua perjuangan dan usaha untuk belajar dan menghafal diperlukan tahap menengadah kepada Allah yang menjadi penentu segala pinta. Tanda satu titik di tengah dan atas mengisyaratkan bahwa segala pinta hanya ditujukan kepada Allah yang Esa.

Dalam KBBI, santri adalah orang yang mendalami agama Islam dan orang yg beribadah dengan sungguh-sungguh atau orang yang saleh. Berdasarkan pengertian itu, tampak jelas santri memang orang yang saleh secara spiritual dan beribadah dengan sungguh-sungguh serta mendalami ilmu agama.

Santri utuk bisa mencapai derajat luhur tidak bisa bersikap individualistis atau egosentris tetapi santri harus bersilaturrahim dengan yang lain. Dalam hal itu diperlukan sifat tawadhu’ atau rendah hati dengan menjauhkan sifat takabbur agar tercipta keharmonisan. Hal yang perlu diperhatikan, kemajuan zaman telah membawa kebebasan bahkan dalam agama sendiri juga dikenal adanya liberalisme agama. Jika tidak dibekali dengan pendirian yang kuat, maka sangat berbahaya. Belum lagi, harus didukung dengan keistiqomahan dalam menjalani peribadatan yang sesuai syariat Islam yang diwariskan dari para guru. Mengingat banyak sekali aliran dalam agama yang bertentangan dengan akidah Aswaja.

Banyaknya godaan dan ujian tentunya harus didukung dengan berdoa kepada Allah agar dikuatkan dan diberi ketetapan dalam berislam yang benar. Perumpamaan huruf nun, akan terbaca jika ada satu titik diatasnya, jika saja titik itu dihapus maka tidak akan terbaca nun. Ibarat titik adalah nur, maka cahaya ilahi itu selalu menyinari. Maka dengan terus me-nyadong kepada Allah, titik itu insyaallah tidak akan terhapuskan sehingga dalam menjalani kehidupan bisa istiqomah.

Makna filosofis tidak terbatas pada urusan tingkatan sebagai hamba Allah, tetapi dalam artian universal mencakup semua aspek kehidupan. Utamanya santri adalah pejuang tegaknya ilmu Allah, maka perlu tahap-tahap untuk mencapai derajat luhur. Jika dibilang, tidak perlu ilmu yang tinggi-tinggi, tetapi ilmu yang bisa menerangi dan menunjukkan ke jalan lurus juga cukup serta bisa bermanfaat untuk sesama. Kembali lagi pada sifat dasar manusia yaitu saling tolong menolong dan saling mengingatkan dalam kebaikan. Dalam bergaul di masyarakat manapun, saat tidak lagi berstatus santri, tetaplah harus melekat dalam jiwa yang terpatri bahwa makna santri tidak terbatas yang hanya mukim di pondok pesantren.

Maka jelaslah bahwa santri haruslah bisa menjaga diri di manapun berada. Apapun yang dihadapi kelak adalah sebuah kepastian. Tidak ada jalan yang mudah, tapi adanya jalan yang penuh tikungan, sesulit apapun adalah jalur yang wajib dihadapi dengan sungguh-sungguh. Sebagai santri yang sekaligus mahasiswa juga

Oleh : Arina Zulfa

Referensi:

Makna Filosofis Tanda I’rob Rofa’ diperoleh dari penjelasan guru sewaktu mengaji bab I’rob

Araa’ini, Syekh Syamsuddin Muhammad. Ilmu Nahwu : Terjemah Mutammimah Ajurumiyyah. Bandung: Sinar baru Algensindo.

Ilyas, Yunahar, 2007. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: LIPI (Pustaka Pelajar).

Rusdi. 2013. Ajaibnya Tawadhu dan Istiqamah. Yogyakarta: Diva Press.