Bismillah…
Mampu menghafal Al-Qur’an adalah anugerah yang patut kita syukuri. Mereka para penghafal Al-Qur’an adalah panji kebesaran Islam yang dengannya Allah menjaga kalam suci-Nya. Sama halnya dengan mempelajari ilmu syar’i. Mereka para penuntut ilmu juga patut bersyukur karena dengannya panji-panji keilmuan Islam akan selalu terjaga.
Namun akhir-akhir ini, kita kerap menyaksikan persoalan tentang prioritas antara keduanya, yaitu “mendahulukan menghafal Al-Qur’an atau mendalami ilmu syariat?”. Sebenarnya, keduanya memiliki ruang dan perannya masing-masing, namun di sisi lain ada juga kaitannya. Oleh sebab itulah muncul persoalan mana yang lebih dipentingkan. Keduanya mempunyai kaitan, tapi kita akan bahas kaitannya saja.
Al-Qur’an merupakan mashadir at-tasyri’ (sumber hukum) yang pertama dalam Islam. Walaupun tidak semua hukum ditemukan dalam Al-Qur’an, tapi tugas kita adalah memahami dan mengamalkan isi Al-Qur’an. Dari sini persoalan muncul, bagaimana kita bisa memahami Al-Qur’an secara utuh, padahal hukum yang dikandung dalam Al-Qur’an hanya sebagian kecil?
Nah, di sinilah letak pentingnya belajar ilmu syariat, dalam hal ini fikih. Fikih adalah ‘kemasan instan’ untuk kita memahami Al-Qur’an. Kenapa harus melalui fikih? Kenapa tidak langsung saja memahami Al-Qur’an? Sebelumnya, perlu kita tanamkan kembali dalam hati kita bahwa tujuan Al-Qur’an diturunkan adalah agar kita memahami dan mengamalkan isinya, bukan sekedar menghafal. Oke, kembali ke pertanyaan “kenapa tidak langsung dari Al-Qur’an?” Jawabannya, kami tidak terlalu percaya diri memahami Al-Qur’an langsung dari lembaran mushaf, karena Al-Qur’an sangat sangat dan sangat umum. Contoh keumuman Al-Qur’an adalah perintah sholat. Di Al-Qur’an, kewajiban sholat hanya diungkapkan dengan kalimat أقيموا الصلاة (dirikanlah sholat). Nggak ada tuh disebutkan nama sholatnya, waktunya, caranya, syarat dan rukunnya. Nggak ada sama sekali. Bagaimana kita bisa tau cara melakukan sholat? Tentu kita sudah tau jawabannya, yaitu dengan belajar ilmu fikih. Jika demikian, mana yang diprioritaskan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat kembali hukum asal keduanya. Menghafal Al-Qur’an adalah ibadah yang besar pahalanya. Hukum menghafalkannya fardlu kifayah. Mempelajari ilmu syariat (fikih) yang sebatas mengetahui dan memastikan keabsahan ibadah dan muamalah sehari-hari hukumnya fardlu ‘ain. Sementara mempelajari fikih lebih mendalam untuk menjawab persoalan umat hukumnya fardlu kifayah.
Kita sekarang menemui banyak sekali fenomena penghafal Al-Qur’an yang tidak tahu hukum agama, bahkan hanya sebatas membedakan najis atau tidaknya benda saja tidak tahu. Sangat disayangkan. Padahal menguasai pemahaman agama yang dibutuhkan sebatas fardlu ‘ain adalah ketetapan yang tidak bisa ditawar, seperti mengetahui syarat sah sholat, rukun sholat, rukun wudlu, cara menghilangkan najis, dan lain-lain. Kita sebagai muslim wajib banget paham hal ini, baik bagi penghafal Al-Qur’an atau bukan. Lebih-lebih para penghafal Al-Qur’an, wajib memahami ilmu fardlu ‘ain. Dalam kaidah fikih disebutkan:
إِذَا تَعَارَضَ وَاجِبَانِ قُدِّمَ آكَدُهُمَا
“Jika ada dua kewajiban bertentangan, maka didahulukan yang paling kuat di antara keduanya.”
Kaidah ini jelas menyampaikan kepada kita bahwa fardlu ‘ain wajib didahulukan dari fardlu kifayah, yang artinya belajar ilmu fikih tahap fardlu ‘ain, seperti thoharoh, sholat, puasa, zakat, dan seterusnya, itu lebih didahulukan daripada menghafal Al-Qur’an. Mungkin sebagian orang dari kalangan pesantren tahu betul bagaimana rumitnya belajar ilmu fardlu ‘ain. Sebut saja thoharoh. Thoharoh dalam fikih pembahasannya sangat luas. Mulai dari berwudlu, yang terdiri dari banyak pembahasan, mulai rukun wudlu, makruh wudlu, sampai hal-hal yang membatalkan wudlu. Contoh lain seperti sholat. Sholat pun pembahasannya sangat luas, meliputi waktu, tata cara, syarat wajib, syarat sah, rukun, makruh, hal-hal yang membatalkan sholat, dan lain-lain. Ini baru cuplikan hukum fikih yang fardlu ‘ain, belum hukum yang lain. Walhasil, belajar fikih fardlu ‘ain membutuhkan waktu yang cukup lama dan oleh karenanya kita tidak boleh menyepelekan hal ini.
Fenomena lain yang juga kita temukan adalah banyaknya orang yang paham hukum agama, tapi tidak sampai hafal Al-Qur’an. Kalau bicara soal ideal sebenarnya dua-duanya harus kita kuasai. Ya paham fikih ya hafal Qur’an. Ya hafal Qur’an ya paham fikih. Tentu harapan kita adalah bisa menguasai dua-duanya. Tapi apalah daya manusia, makhluk yang serba kurang dan lemah. La haula wa la quwwata illa billah.
‘Ala kulli hal, kalau bicara ideal, maka dua-duanya harus dikuasai. Kalau bicara mana yang lebih penting, tentu saja lebih penting paham hukum agama, meski tidak hafal 30 juz Al-Qur’an, daripada menghafal Al-Qur’an. Tapi kalau bicara keutamaan, keduanya punya ruang keutamaan dan perannya masing-masing. Para penghafal Al-Qur’an adalah orang-orang pilihan karena dengan mereka Allah menjaga kemurnian kalam-Nya. Begitupun orang alim fikih, mereka juga orang-orang pilihan karena sebab merekalah hukum Allah bisa disebarkan dan ditegakkkan di muka bumi ini.
Sekali lagi, ini bukan persoalan ‘yang ini lebih baik dan yang itu tidak lebih baik’, bukan. Keduanya memiliki keutamaan masing-masing. Persoalannya hanya menguji seberapa cermat kita menentukan prioritas. Pada dasarnya, menentukan prioritas juga perlu untuk mengukur kemampuan diri kita masing-masing. Jangan sampai kita salah memprioritaskan dua hal yang sama-sama wajib, karena menurut Imam al-Ghazali, orang yang tidak pandai atau terkecoh dalam mengurutkan kewajiban, maka ia termasuk minal maghrurin (orang-orang yang tertipu). Hadanallah wa Iyyakum, Amin.
Al-Asybah Wa an-Nadzo’ir, as-Suyuthi.
Ashnaf al-Maghrurin, al-Ghazali.
Penulis : Anonim