Oleh: Kofifah Tiara Pramuditha

 

Ulgo shipji anha…tet tet tet,” Khaira mengguman pelan. Menganggukkan kepala tanda ia sangat menikmati lagu yang mengalir dari kabel headseat putihnya. Sembari memegang benda pipih di tangan kirinya dan kitab Bulughul Maram di pelukan tangan kanannya.

“Ya Allah Ra. Mbokyo diselehke disik kitab e. Hape ne seng dicekel pertama,”  ucap Mbak A’yun, pengurus bagian keamanan Pondok Pesantren Nurul Iman. Perempuan berdarah asli Semarang itu memusatkan atensinya pada salah satu santri yang duduk mentereng di tengah aula putri dengan pandangan yang tak terlepas dari handphone.

Merasa dipanggil, Khaira menoleh. Menanggapi dengan cengiran, lalu kembali berfokus pada aktivitas semulanya. “Bentar mbak, lagi asik ini,” jawab Khaira seadanya. Mbak A’yun hanya menggeleng pelan, tidak habis pikir dengan santri satu ini.

Setelah melakukan kegiatan harian pondok, rasa-rasanya Khaira perlu mencharger sedikit energinya lewat streaming MV oppa-oppa kesayangannya. Setidaknya hanya sebentar, sebelum ada hal lain yang lagi-lagi mengganggu waktu senggangnya.

“Ra Khaira! Kamu belum piket buang sampah kan, buang sana. Udah numpuk banget, gaenak baunya,” seru Jelita dari bilik kamar. Berdecak kesal, daripada diomeli semua penghuni kamar, mau tak mau Khaira melakukan tugasnya yang sempat ia lupakan.

Sampah di tong merah itu, tampak sangat penuh. Apalagi kemarin sempat ada tasyakuran salah satu santri kamarnya yang sedang berulang tahun. Penuhlah sampah itu dengan sterofoam dan cup es teh.  Khaira pun mengangkat tong sampah itu dan membawanya menuju TPS di sebelah gedung santri putra.

“Duh tau gini kubuang sampahnya kemarin aja biar nggak menggunung kayak gini,” gumannya pelan.

Selesai dengan urusannya, Khaira bergegas mencuci tangan dan kembali ke kamarnya untuk melanjutkan sesi streaming MV nya yang sedang tertunda.

Baru saja hendak memegang gadget nya, lagi-lagi seruan dari Putri, salah satu santri mengalihkan atensinya.

“Ra, hari ini kamu jatah nemenin mbak-mbak belanja ke pasar, ya. Aku ada kerkom*) sama temen-temen madrasahku nih,” ucap Putri dengan nada penuh permohonan. Khaira menghela napas. Selain kegiatan pondok, para santri juga disibukkan dengan kegiatan sekolah formal di dekat pondoknya.

“Kenapa nggak bilang dari kemarin? mendadak banget ini,” jawab Khaira.

Putri tersenyum getir, “Aku lupa kalau hari ini ternyata ada piket belanja”.

Lagi-lagi Khaira menghela nafas, rasanya ingin meledak, tapi ia tidak mungkin menyalahkan orang yang jelas-jelas lupa. Pada akhirnya Khaira mengangguk mengiyakan, membuat Putri senang bukan main hingga memeluk Khaira.

“Makasih, Ra. Kamu emang bestieku yang paliiiing baik”.

“Hm iya-iya lepasin dulu dong,” jawab Khaira seraya melepaskan pelukan Putri. Bukannya tidak mau, Putri ini terlalu phisycal touch untuk dirinya yang sangat membenci itu.

Pagi ini pukul setengah delapan pagi, Khaira bersama mbak Ulya pergi berbelanja ke pasar. Membeli bahan-bahan masakan untuk menu makan di siang hari, membeli alat-alat masak baru, dan membeli beberapa titipan dari Ndalem.

Tas keranjang kuning itu penuh dengan bahan-bahan masakan. Ditambah lagi alat-alat masak seperti panci kecil, wajan, serok, dan tudung saji membuat kedua tangan Khaira penuh. Sedangkan Mbak Ulya sibuk memilih daster di salah satu kios.

“Ini sama yang ini bagusan mana, Ra?” tanya mbak Ulya sembari memperlihatkan dua daster dengan bentuk dan warna yang berbeda. Khaira berpikir sebentar, lalu tangannya terulur memilih salah satu daster yang menurutnya cocok. Senang karena pilihannya sama. Mbak Ulya lantas menuntasklan transaksinya kepada penjual kios.

Setelah menghabiskan banyak waktu di Pasar, mereka berdua akhirnya kembali pada pukul setengah sebelas siang. Terik matahari yang seakan menembus jilbab setebal apapun, mampu membuat Khaira kehabisan energinya. Sesampainya di pondok, ia langsung meneguk habis es teh cup yang ia beli tadi sepulang dari pasar.

“Uh, ya Allah segernya,” gumannya pelan.

“Wah kulihat-lihat dari tadi kayaknya kamu sibuk banget, Ra,” celetuk Septi, teman sekamarnya.

Tidak punya tenaga menjawab, Khaira hanya menanggapi dengan cengiran getirnya, lalu kembali merebahkan diri di lantai dingin kamarnya. Hari Minggu ini suasana kamarnya cukup ramai. Selain libur sekolah akhir pekan, rata-rata teman-temannya malas untuk sekadar keluar pondok karena ekstremnya cuaca panas di luar sana.

“Iya loh, Khaira nih biasanya kalau Minggu gini sukanya mojok sambil nontonin oppa-oppa nya mumpung hape nya dibagiin, lah sekarang jadi produktif banget,”  ucap Jelita.

Teman-teman yang lain mengiyakan dengan semangat.

“Khaira tuh dicekokin MV diem dia seharian,” tambah Ayu. Disusul suara tawa dari seluruh teman-temannya. Khaira hanya tersenyum, ia harus istirahat sebentar, tugas sekolahnya masih belum ia pegang sama sekali. Belum sempat.

Belum genap sepuluh menit ia menutup mata, Mbak A’yun datang di kamar yang menyuruh santri untuk membangunkan Khaira.

“Ra, diutus Ibu Nyai bersihin kamar tamu sekarang, soalnya ba’da dhuhur nanti ada tamu,” ucap Mbak A’yun.

Khaira mengerutkan dahinya “Kok aku Mbak? kenapa nggak yang lain? Biasanya yang ngurus itu mbak-mbak pengurus harian,” Khaira mencoba  mengelak diri. Ia benar-benar capek. Dua jam lebih mengelilingi pasar, sekarang ia harus membersihkan kamar tamu?

Mbak A’yun melangkah pelan menuju kamar, takut tidak sopan jika harus mengobrol di depan pintu. Seluruh atensi santri di kamar sepenuhnya menuntut mbak A’yun untuk menjawab. Mereka juga merasa kasian dengan Khaira yang notabene baru saja istirahat setelah berlama-lama dari pasar.

“Jadi gini loh, tadi pas didawuhi ibu, ndelalah pengurus ada rapat bulanan, jadi tidak bisa. Terus ibu ngendikan kalau minta tolong ke santri saja yang selo. Ya kalau tak lihat kamu tadi duduk-duduk di aula, sekarang goleran, yaudah tak suruh kamu aja sekalian,” jelas mbak A’yun penuh pengertian.

Khaira mendesah kesal dalam hati, “Memang, ya. Pekerjaan tiduran itu yang paling di notice orang lain.” Padahal tadi ia pergi ke sana kemari.

“Loh, tapi kan Mbak, Khaira tadi tuh habis-…”.

“Kamar tamu yang sebelah mana, Mbak?” Tanya Khaira memotong ucapan Jelita. Ia tidak mau disangka yang tidak-tidak dan malah memperumit masalah.

Jelita melotot menanggapi tindakan Khaira. Bisa-bisanya dia mau? mengapa tidak minta ganti orang lain saja, dia kan berhak istirahat juga. Pikirnya.

“Kamar tamu yang depan akuarium besar itu, ya Khaira. Makasih, ya. Semoga hari liburmu makin produktif deh, Ra,” jawab Mbak A’yun sebelum benar-benar meninggalkan kamar.

“Yakali, gatau aja kalau Khaira dari tadi gak tidur,” geram Jelita.

“Udah nggapapa, Jel. Masih stay strong nih, hehe,” jawab Khaira seadanya sekaligus menghibur diri.

Takut malah kelamaan, Khaira bergegas bersiap-siap dan membawa beberapa alat-alat kebersihan, seperti sapu, pel, tisu, dan lap kotor. Setidaknya hari ini ia tidak begitu malas malasan.

Kaget… Satu kata yang mampu mendeskripsikan perasaan Khaira saat matanya menyapu ruangan bercat putih itu. Ia hanya harus membersihkan debu di kasur, menyapu, dan mengepel kamar supaya terlihat lebih bersih.

Lihatlah, karpet yang tidak tergulung sepenuhnya, buku-buku yang seakan berjalan sendiri dari raknya, bekas sampah dan tisu yang tergeletak mengenaskan di pojok kamar.

Khaira meneguk ludahnya kasar. Rasanya ia ingin meraung-raung mengatakan pada dunia bahwa dirinya sudah tidak kuat. Bukan. Bukannya ia tidak kuat menuntut ilmu, namun cobaannya selalu saja datang silih berganti tak ada jedanya. Ia ingin layaknya teman-temannya, yang bisa bebas pergi ke mana saja tanpa tujuan, tanpa tekanan, dan tanpa rasa resah di tiap harinya.

Mengenyahkan segala pikiran yang malah akan membuatnya semakin berlarut dalam kesedihan, Khaira memutuskan untuk mulai membersihkan satu demi satu kekacauan kamar demi kenyamanan tamu dan tentunya menjaga nama baik pondok pesantren.

Pukul setengah satu siang Khaira menyelesaikan pekerjaannya, ia bergegas kembali ke kamarnya dan berniat untuk istirahat sebentar sebelum nanti mandi dan melakukan sholat dhuhur.

Namun, lagi-lagi, rencana tinggalah rencana, sesampainya di kamar ia dikejutkan oleh pemandangan teman-temannya yang sibuk memegang kitabnya dan menghafalkan bait-bait syair  yang seharusnya tidak dilakukan hari ini.

“Loh, ada apa? Kok pada pegang Alfiyah? Bukannya jadwal hafalan kita hari Rabu depan?” tanya Khaira akhirnya.

Ayu menoleh, “Kata mbak pengurus, Pak Zaman ada acara di hari Rabu, jadi  minta diganti hari Minggu sore ini,” jelasnya. Pak Zaman adalah salah satu guru madrasah di Pondok Pesantren Nurul Iman.

Lutut Khaira melemas, inilah yang ia takutkan. Ia tidak secepat itu menghafalkan bait-bait syair Alfiyah yang terdengar sangat asing di telinganya. Kini ia harus menerima kenyataan bahwa biasanya ia harus membutuhkan waktu berhari-hari untuk menghafalkan 7 bait Alfiyah. Kini dalam waktu kurang dari sehari ia harus menyelesaikan tugas rutinan madrasah itu.

Rasanya campur aduk. Sesak, lelah, kesal, sedih, dan ingin menyerah, beradu menjadi satu. Bahkan ia tidak diberikan waktu sedikit saja untuk merasakan bebas dari tugas-tugasnya di akhir pekan ini. Hari biasa ia harus bergelut dengan tugas-tugas sekolah. Di hari libur, ia selalu mendapatkan perintah tugas pondok seakan ia tak kenal lelah.

Menghela nafas kasar, ia berjalan ke sisi kamar, mengambil handuk dan bersiap ke kamar mandi. Setidaknya ia harus menyegarkan pikirannya.

Setelah selesai melakukan ritual mandi dan melaksanakan sholat dhuhur, Khaira menaiki satu persatu tangga jemuran untuk merasakan ketenangan menghafalkan syair-syair Alfiyah.

Tapi, belum sempat duduk di sebelah tong besar yang menghadap ke jalanan itu, hatinya mencelos melihat seragam sekolah yang kemarin dicucinya jatuh dengan naasnya terkena kotoran tanah. Bukan hanya seragamnya, beberapa baju yang sempat ia cuci kemarin juga berjatuhan tanpa hanger.

Berjongkok, Khaira menangis dalam diam. Ia lelah. Lelah dengan segala hal yang berada di luar kuasanya dan tidak bisa ia kendalikan. Harus sampai kapan ia bertahan seperti ini? Terbesit rasa sesak dalam hatinya. Kenapa Allah terlalu jauh mengujinya? ia hanya ingin menuntut ilmu dengan tenang. Ia hanya ingin meninggikan derajat orang tua dengan ilmu-ilmunya. Ia hanya minta diberi kemudahan dan keberkahan dalam menuntut ilmu.

Tapi kenapa sesulit ini?

“Bu, pengen berhenti sampai disini saja,” gumannya pelan.

Khaira mengusap air matanya kasar. Lagi-lagi ia harus dipaksa tegar oleh keadaan. Ia duduk tenang di sebelah tong besar, menghadap jalanan, mengenyahkan sebentar urusan lainnya yang mengganggu, menyisihkan sedikit kepingan hari ini untuk menghafalkan bait Alfiyah.

Sedikit demi sedikit ia bisa merakit bait itu menjadi satu kesatuan, butuh  waktu berkali-kali ia mengulang bait atas untuk mengulang hafalannya agar tidak kabur begitu saja. Melanjutkan bait baru, mengulang kembali walau beberapa tak luput dari lupa dan keliru. Namun, tepat satu jam setengah ia mampu menghafalkan 7 bait Alfiyah yang biasanya harus ia rakit berhari-hari.

Ya. Sekarang Khaira sadar. Kuncinya adalah sabar.

Di setiap bait, memang pasti ada kesulitan kata dalam menghafalkan. Di setiap kehidupan juga pasti ada bagian yang sering membuat kelimpungan. Namun, bait itu terucap dengan baik dari kepala ketika mampu mencerna dan sabar menghadapi kesulitan dengan baik. Kehidupan juga demikian, ketika dilandasi rasa sabar untuk menghadapi hari-hari yang berat dan di luar kuasanya akan menjadi baik.

Dan yang terakhir, optimis.

Khaira sadar, ia bahkan tidak memikirkan apakah ia bisa atau tidak untuk menghafalkannya. Yang ia lakukan hanyalah menghela nafas, mengosongkan pikiran, memfokuskan tujuan, dan melakukan sebisa mungkin.

Itulah yang harus ia lakukan di hari-hari berikutnya. Jalannya menuntut ilmu mungkin sedang diberi sedikit kerikil dari Allah. Tapi ia harus optimis, percaya bahwa ia sanggup menyelesaikan hari itu dan menjalaninya dengan baik. Ia harus menyambut hari esok yang lebih baik dan lebih indah lagi.

Maka, dengan begitu, insya allah, mengeluh itu bukanlah kebiasaan yang selalu dilestarikan dalam menjalani hari-hari.

 

keterangan *):

Kerkom : Kerja Kelompok

8 Februari 2024

Lomba Menulis Dalam Rangka Haflah Akhirussanah 2024