( Abdul Mujib )

 

بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العلمين. اللهم صلى على محمد

Tujuan atau jalan ??

Mungkin sebagian dari kalian ada yang pernah mendengar kata-kata di atas, tujuan untuk apa dan yang bagaimana? Atau jalan untuk kemana? Yang pasti tujuan dan jalan yang akan mengantarkan kita menuju hal-hal yang baik terlebih agar kita menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Untuk lebih lengkapnya bisa lanjut baca pembahasan di bawah yakkk..

Dalam pengajian rutin malam minggu kliwon yang diselenggarakan oleh pengurus masjid Dusun Nglaren Al-Hanan dengan jamaah pengajian dari masyarakat sekitar termasuk pondok pesantren Salafiyah Al-Muhsin dan Al-Falah Putri. Berbeda dengan pengajian yang biasanya secara continue mengkaji kitab Riyadus Sholihin tapi pada 30 Desember 2017 ini sekedar bercerita dan lebih memikirkan fonemena kehidupan sehari-hari yang berasaskan nilai-nilai keagamaan. Ustadz Mu’alim yang mengisi pengajian tersebut merupakan sarjana Agama IAIN Sunan Kalijaga sekarang UIN Sunan Kalijaga.

Pertama-tama beliau membuka pengajian ini dengan salam, basmalah, tahmid, dan sholawat kepada Rasulullah SAW sebagaimana tradisi NU disamping itu karena beliau juga seorang kader NU yang memegang teguh prinsip dalam berdakwah. Pengajian beliau berisi suatu perbandingan-perbandingan dalam aspek kehidupan mulai dari perihal makan sampai peribadatan. Pertama beliau menyampaikan bahwa jaman dulu tahun 1980/1990an kebanyakan pekerjaan masyarakat adalah berkebun, bertani, dan beternak. Ketika waktu istirahat atau waktunya sarapan hanya menyantap hidangan yang kalau kita bayangkan sekarang, sangat sederhana dan tidak ada istimewanya sama sekali. Porsinya yang banyak walaupun sederhana menjadi rutinitas masyarakat pedesaan kala itu. Bayangkan ada nasi, sayur, dan lauk seadanya saja sudah terasa nikmatnya apa lagi bagi seorang perokok ketika telah selesai membabat makanannya diakhiri dengan rokok yang dilinting terlebih dahulu. Walaupun seperti itu kondisi fisik masyarakat terjaga dari penyakit yang aneh-aneh.

Berbeda dengan kehidupan sekarang yang nama makanannya saja sudah membingungkan kepala karena datangnya dari luar negeri yang tentunya dengan bahasa yang bukan bahasa kita. Ada apa dengan makanan jaman sekarang ini khususnya makanan yang mewah nan mahal tapi porsinya sedikit sekali?. Makanan-makanan di retaurant itu, anda tau?, banyak makanan siap saji, bervarian, mewah, dengan harga yang melangit. Akan tetapi, apakah itu bisa dinikmati dengan puas?. Mungkin bagi kalangan berduit tidak menjadi masalah. Tapi yakin tidak ada efek buruknya terhadap kesehatan?. Pak Alim (Ustadz Mu’alim) kemudian menceritakan suatu kisah seorang sopir pribadi orang yang tentunya berduit. Suatu ketika si sopir diajak ke restaurant yang terbilang wow dengan maksud ingin njajakke (neraktir) si sopir. Pelayan restaurant itu menyodorkan beberapa lembar dengan list makanan atau pun minuman di dalamnya. Si sopir yang kampungan boro-boro ngerti semua jenis makanan di restaurant itu membacanya saja pun balelol. Sementara di bos sudah memilih makanan yang menjadi makanan paforit di restaurant itu ya walaupun mungkin tidak mengenyangkan dengan pilihan cepat. Tanpa pikir panjang akhirnya si sopir memilih makanan yang entah wujudnya nanti seperti apa. Tang.. teng.. tong.. tang.. teng.. tong.. masing-masing menikmati makanannya tapi si sopir tidak menghabiskan makanan yang di pesannya mungkin semacam gelo (menyesal) telah memilih menu yang salah. Si bos bertanya pada si sopir, loh kenapa tidak dihabiskan?. Sudah kenyang bos, jawab si sopir singkat. Sebenarnya belum kenyang, kenyang dari mana orang porsinya saja dikit banget, mahal iya. Entah apa yang dipikirkan si sopir. Setelah si bos selesai makan kemudian dia membuka koper yang isinya banyak berbagai macam obat pribadi.

Dari sana kita bisa membandingkan dan menilai mana makan yang menjadi tujuan dan mana yang menjadi jalan. Juga bisa memastikan mana makan untk hidup dan mana hidup untuk makan. Atau setidaknya mana yang benar-benar nikmat ketika makan. Kita telisik cerita pertama bahwa, seseorang makan tujuannya adalah untuk menghilangkan rasa lapar, menguatkan tubuh ketika bekerja maupun beribadah walaupun dengan hidangan yang serba sederhana dan seadanya. Ini bisa dilihat dari cara seseorang itu dalam menerima makanan yang telah di berikan oleh Tuhan dengan rasa bersyukur dan menikmatinya. Inilah makan yang dinilai sebagai jalan bukan tujuan. Inilah yang dinamakan makan untuk hidup dan hidup untuk beribadah kepada Khaliq, dan bukan sebaliknya. Berbeda dengan contoh cerita si bos tadi, yang menunjukkan bahwa hidup itu hanya untuk makan. Kita bisa mnyimpulkan seperti itu karena dalam hal makan dia, si bos tadi bukan dituntut kebutuhan tapi keinginan, berasal dari hawa nafsu bukan dari akal, dan menjadikan makan itu sebagai tujuan bukan jalan, masa bodoh dengan akibatnya nanti kan?.

Kembali lagi terhadap bagaimana cara kita merespon sesuatu dan ketika dihadapkan dengan fonemena dalam kehidupan kita, apapun itu ambilah tengah-tengah, jangan berlebihan (ekstrim) dan jadikanlah jalan atau media untuk menuju ridho-Nya, dan bukan menjadikan sebagai tujuan. Karena ketika semuanya yang selain Allah dijadikan tujuan maka hanya akan mendapat, ya.. itu-itu saja. Seperti halnya puasa hanya mendapat rasa lapar dan haus saja. Ketika masih diberi kesempatan hidup besok hari, masih bisa bangun besok pagi, punya teman di sekeliling kita, bisa membersihkan raga lebih-lebih jiwa-akal-hati, dapat rezeki berupa makanan walaupun sederhana, ada guru yang bisa membimbing kita dalam hal agama dan keilmuan lainnya, and so on.. jadikanlah segala aktivitas hidup kita dari mulai doa bangun tidur sampai doa hendak tidur sebagai washilah atau jalan (طرقة) untuk mendapatkan ridho dari  Allah SWT dan janganlah berlebihan atas segala suatu apapun itu. Ingatlah selalu bahwa :

 

“ MADANGO GAWE URIP, OJO URIP GAWE MADANG “

والله اعلم بالصواب