Kehidupan dibangun oleh beragam hal, salah satunya yang menunjukkan ciri makhluk hidup adalah makan. Jika dipahami lebih lanjut timbul pertanyaan, “Hidup untuk makan” atau “Makan untuk hidup”. Kedua konsep tersebut menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Jika yang dipahami hidup untuk makan maka tujuannya untuk mencari makan dan kekenyangan. Sementara jika yang dipahami adalah makan untuk hidup maka yang dimaksud adalah makan untuk bekal hidup. Memang tampak seperti permainan kata, tetapi dari segi makna akan sangat berbeda.

Kedua konsep tersebut jika dirunut bisa mengacu pada perbedaan hewan dan manusia dalam hal menjalani hidup. Jika hewan, setelah makan tidak memungkinkan adanya perenungan mengenai hikmah dilakukannya makan karena tidak dibekali oleh akal. Berbeda dengan manusia yang dibekali akal, proses makan akan memicu perenungan mengenai intisari dari makan. Misalnya pertanyaan bagaimana makanan bisa menyokong kehidupan.

Definisi makan untuk hidup bisa diartikan dengan memprioritaskan hidup dengan makanan sebagai media pencapaian hidup. Dalam pemenuhan gizi seimbang, pemilihan makanan penting karena tubuh tidak hanya memerlukan gula dari makanan pokok, tetapi juga protein, vitamin, mineral, lemak, dan zat lainnya. Mengingat tubuh tersusun oleh makromolekul yang akan mengalami bongkar-pasang sehingga perlu adanya suplai nutrisi yang seimbang. Pemahaman ini dapat mengantarkan pada makan seadanya karena sekiranya sudah cukup untuk beraktivitas tidak perlu makanan lain lagi.

Sementara itu, definisi hidup untuk makan bisa diartikan bahwa makanan lebih diprioritaskan sehingga ada tuntutan dalam mendapatkan sesuap nasi. Konsep ini bisa diartikan dengan mengkategorisasi makanan yang layak untuk di makan sehingga dapat memicu penolakan atau penerimaan makanan. Pemahaman ini dapat dikaitkan dengan budaya konsumerisme dan hedonisme sehingga memicu tuntutan dalam hal makanan. Seakan-akan jika tidak enak atau tidak mewah tidak bisa disebut dengan makanan.

Bagaimana konsep yang tepat untuk dipahami sebagai pandangan hidup?

Beberapa ratus tahun sebelum masehi, Hippocrates seorang ahli kedokteran dan fisiologi dasar mengatakan, “Segala sesuatu yang berlebihan bertentangan dengan alam”. Menurut Hippocrates bahwa untuk memelihara kesehatan hendaknya tidak makan dan minum secara berlebihan serta sewajarnya dalam beraktivitas. Ia pun menambahkan bahwa mengonsumsi makanan merugikan dalam kadar sedikit masih lebih baik dibandingkan dengan mengonsumsi banyak makanan yang baik.

Energi dalam bahasa biologi dikenal dengan ATP (Adenosin Triphosphate). Sari-sari makanan yang diserap usus halus akan diedarkan ke seluruh tubuh lalu dibakar di sel-sel tubuh melalui beberapa tahapan metabolisme menjadi energi kimia. Dalam tubuh ada konsep homeostasis yaitu keseimbangan antara komponen tubuh. Tidak bisa dipastikan bahwa apapun yang dimakan akan langsung diserap tubuh. Misalnya kadar gula dalam darah berada pada kisaran normal, lalu seseorang mengonsumsi lagi makanan mengandung gula. Maka makanan tidak akan diserap karena molekul gula tidak bisa masuk ke dalam sel yang kadar gulanya sudah mencukupi. Ibarat kata, air selalu mengalir dari tinggi ke rendah. Jika dua permukaan air sudah setara tentunya tidak akan terjadi aliran hingga stagnan. Jadi, makan sebanyak apapun hingga kenyangpun jika tubuh tidak membutuhkan (sudah cukup) maka tidak akan diserap. Walapun di sisi lain masih ada pengaturan lain di jalur ekskresi ginjal dan defeksi usus besar terkait reabsorbsi (penyerapan kembali) air, garam, mineral, dan vitamin ketika tubuh kekurangan.

Senyawa yang menunjukkan kepuasan terhadap makanan dapat dikaitkan dengan penurunan dopamin di striatum dorsal.  Sebuah senyawa kurir lipid usus, senyawa turunan lemak, Oleoylethanolamine (OEA) dapat memodulasi pelepasan dopamin striatal melalui modulasi sinyal PPAR𝛼 dan aktivasi vagal berikutnya. Zat tersebut dihasilkan dari komunikasi antara usus dan jalur dopamin otak. Produksi senyawa tersebut akan memberikan sinyal kenyang kepada otak sehingga rasa lapar menghilang.

Berdasarkan regulasi dalam tubuh terhadap rasa kenyang dan lapar mengindikasikan bahwa konsep “hidup untuk makan atau makan untuk hidup” menjadi dipertimbangkan. Sekalipun ada zat OEA, jika kekuasaan nafsu melebihi segalanya maka tetap saja rasa lapar sulit ditekan, apalagi berhubungan dengan dopamin yang membawa kebahagiaan selama makan. Dalam hal ini, kunci yang mengatasi adalah bagaimana menekan hawa nafsu untuk merasa cukup. Allah berfirman dalam Alquran Surat Al-A’raf ayat 31 :

يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ خُذُوْا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَّكُلُوْا وَاشْرَبُوْا وَلَا تُسْرِفُوْاۚ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِيْنَ ࣖ ٣١

Artinya: “Wahai anak cucu Adam, pakailah pakaianmu yang indah pada setiap (memasuki) masjid dan makan serta minumlah, tetapi janganlah berlebihan. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang berlebihan(Q.S. Al A’raf [7] :31).

Nabi pun juga bersabda bahwa:

ما ملأ آدميٌّ وعاءً شرًّا من بطن، بحسب ابن آدم أكلات يُقمن صلبَه، فإن كان لا محالة، فثُلثٌ لطعامه، وثلثٌ لشرابه، وثلثٌ لنفَسِه

Artinya:“Tiada tempat yang manusia isi yang lebih buruk ketimbang perut. Cukuplah bagi anak adam memakan beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Namun jika ia harus (melebihinya) maka hendaknya sepertiga perutnya (diisi) untuk makanan, sepertiga untuk minuman, dan sepertiga lagi untuk bernapas.” (HR. Ahmad).

Hadis tersebut menunjukkan mengenai homeostasis atau keseimbangan tubuh. Ketika seseorang kekenyangan maka, aktivitas lainnya akan terhambat. Apalagi pencernaan makanan dalam lambung akan berlangsung 6-8 jam baru berlanjut ke usus dua belas jari (duodenum). Di dalam perut, terdiri atas berbagai organ yaitu organ pencernaan yaitu lambung, usus halus, hingga usus besar. Di atas perut ada otot diafragma yang melekat pada paru-paru. Jika perut sangat penuh, tentunya akan menganggu pernapasan karena paru-paru akan sulit mengembang dan mengempis untuk menampung atau melepas udara.

Komponen lainnya adalah air yang berfungsi sebagai pelarut zat. Hampir 90 persen sel-sel tubuh tersusun oleh air. Bisa dibayangkan jika sari-sari makanan terserap dalam darah, tetapi kadar air berkurang atau bahkan sampai dehidrasi. Maka, sama saja sari-sari makanan tidak akan terdistribusi dengan baik atau dengan kata lain macet. Pada kasus lain, yang terjadi pada penderita penyakit atherosklerosis yaitu adanya timbunan lemak di dinding arteri yang berdampak pada terhambatnya aliran darah. Jadi, keseimbangan antara makan, minum, dan bernapas harus diperhatikan.

Berdasarkan uraian di atas, konsep yang paling tepat adalah makan untuk hidup. Dengan pengaturan homeostasis tubuhpun sudah diajarkan bagaimana mengonsumsi makan secukupnya untuk mencapai kesetimbangan sesuai kebutuhan tubuh. Bisa dikatakan jika hendaknya hidup didukung dengan makanan yang secukupnya bahkan makan yang termasuk mubahpun bisa menjadi pahala ketika diniatkan makan untuk beribadah. Sementara konsep hidup untuk makan lebih cenderung merujuk pada hewan karena hewan tidak dibekali akal untuk berpikir mengenai makna dari makan. Jadi, sebagai kesimpulan, hidup untuk makan adalah kerangka luar dari sifat dasar manusia, sementara makan untuk hidup adalah intisari yang harus didapatkan. Bukan hanya kesenangan belaka, tetapi menjadi media mendekatkan diri kepada Allah. Bahwa dengan makan secukupnya, sudah bisa untuk menyokong kehidupan.

 

Penulis: Arina Zulfa

Referensi:

Abidin, Ali Zainal. 2019. Larangan Makan Terlalu Kenyang dalam Islam. Diakses pada 30 Januari 2023 dari https://islam.nu.or.id/ubudiyah/larangan-makan-terlalu-kenyang-dalam-islam-fju53

Narasimhan, Sri Devi. (2013). Select Eat to Live or Live to Eat ? Cell.155(1):6–7. https://doi.org/10.1016/j.cell.2013.09.009

University of California – Irvine. (2008, October 10). How Fatty Foods Curb Hunger. ScienceDaily. Diakses pada 29 Januari 2023 dari www.sciencedaily.com/releases/2008/10/081007123647.htm