oleh: Zayyina Millati Ashfa

 

Pokoknya kami sudah sepakat tanah kosong di pinggir persimpangan jalan itu akan kami gunakan untuk bangun masjid. Tapi malam ini, aku bersama pak RT, pak RW, perangkat desa, dan bapak-bapak lainnya duduk tegang berhadapan dengan ustadz desa yang menolak pembangunan masjid di tanah itu. Katanya tanah kosong di situ tempat membuang jin. Jin? Omong kosong macam apa itu? Jaman sekarang kok masih percaya begituan.  Dari jaman Presiden Soekarno sampai sekarang, alih-alih jin, tempat kosong itu cuma jadi sarang alang-alang dan sesekali kambing liar. Jin? Aiihh…kalau perlu biarkan kami bayar jin-jin di situ biar mereka cari tempat lain.

Menurutku, ustadz ini—Pak Hakim namanya, memang mencari-cari alasan karena isunya calon DPR mau bangun masjid lain di tanah dekat situ dalam waktu dekat. Aneh memang ustadz satu ini. Sudah jadi rahasia umum kalau Pak Hakim jadi tim suksesnya calon DPR dari parpol A. Pak Hakim banyak muridnya. Tak heran kalau calon DPR menggaetnya jadi tim sukses. Aneh. Orang aneh. Katanya orang paling tahu soal agama, mau-maunya ia jadi pembela calon DPR yang cuma mau cari nama. Aku tak habis pikir.

Berdiri di belakang Pak Hakim, seorang pemuda yang tampangnya macam preman dengan gayanya yang sok. Kontras dengan gaya pakaian Pak Hakim yang pakai jubah saat tiba di daun pintu rumah pak RT. Ada tato yang menjulur pada leher dan kakinya. Pada mata kirinya terdapat goresan miring sepanjang 5cm melintang dari alis hingga tulang pipi. Seperti bekas kena pisau. Dan mata kiri itu terpejam. Sepertinya goresan panjang itu cukup berdampak bagi penglihatannya. Pemuda itu mengintip ke dalam rumah pak RT yang isinya banyak bapak-bapak. Pemuda itu tak takut atau bagaimana. Gayanya tetap sok. Rokok tanpa api di tangan kanannya ia putar-putar. Sengaja ia buat agar suasana ini semakin mencekam.

“Maaf ya bapak-bapak, ini bukan hanya perkara tempat ibadah. Tapi juga soal menghormati tempat dan sejarahnya. Kita kan hidup berdampingan dengan semua makhluk Allah SWT. Sudah semestinya kita menghormati tempatnya. Jangan sampai setelah semua dikerjakan malah terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Memangnya bapak-bapak mau?”

Halah…hal-hal yang tidak diinginkan apa? Njenengan sendirian dengan calon DPR itu yang tidak menginginkan masjid ini berdiri. Begitu, kan?

“Lagipula njenengan terlambat kalau bilang sekarang. Kemarin pasir dan material lain sudah datang. Para pekerja akan mulai bekerja besok pagi. Lalu njenengan mau bagaimana? Aneh memang. Ustadz kok menolak pendirian masjid,” sahutku memperkeruh suasana. Kurasa bapak-bapak di sini juga setuju dengan kata-kataku. Ustadz kok menolak pendirian masjid.

Ruang tamu berukuran 6 x 7 meter milik pak RT ini semakin dingin. Pak Hakim dan ‘ajudannya’ duduk di hadapan kami semua.

“Bukan begitu, Pak Syarif. Bukannya menolak. Tentu saya dukung pembangunan tempat ibadah. Hanya saja, itu loh. Tempatnya kan seperti yang saya katakan tadi, tempat pembuangan jin. Saya ragu pembangunan akan berjalan dengan lancar. Bapak-bapak sekalian tidak mau, kan, kalau harus bekerja dua kali lipat hanya karena adanya gangguan dari ‘makhluk-makhluk’ itu?” kata Pak Hakim.

Pak Hakim, makin aneh saja jawabanmu.

“Bapak percaya dengan ‘begituan’?”

Tiba-tiba seseorang nyeletuk. Seorang pemuda yang duduk di samping Pak Usman.

Oalah, Wahyudi, keponakanku. Ia adalah harapan kami. Seorang pemuda yang jadi ketua karang taruna di desa ini. Tentunya pendidikannya lebih bagus dari kami semua.

Kalah telak, kau Pak Hakim. Mau jawab apa kau?

“Waduh Wahyudi. Nyatanya hal seperti itu memang ada nak Wahyudi. Soal apakah ‘mereka’ bisa kita lihat, atau mengganggu kita, atau bergentayangan, kita tak pernah tahu. Untuk jaga-jaga saja, kita jangan usik ‘mereka’. Maka saya memohon kepada bapak-bapak semua, kita tunda dulu saja pembangunannya. Mungkin baiknya kita cari tempat lain saja, baru kita lanjutkan pembangunan.”

Enteng sekali mulut ustadz ini. Cari tempat katamu?

“Tidak bisa begitu, Pak Ustadz. Semua sudah diperhitungkan sejak awal perencanaan. Semua sudah kami urus, tinggal eksekusi. Kalau kami harus pindah, sia-sia usaha kami selama ini,” kataku menggebu-gebu. Sepercik amarah ikut keluar bersamaan dengan setiap kata yang ku lontarkan. Ku lihat bapak-bapak lainnya. Ku rasa mereka sama denganku. Walau tanpa kata, amarah diam-diam membara di hati kami semua.

Sekali lagi Pak Hakim tetap tegar, meski jelas semua argumennya hanya akal-akalan saja. Pria dengan mata kiri tertutup yang lagaknya sok preman itu juga tak bergerak sedikitpun. Ia seolah-olah menjadi bayangan hitam Pak Hakim. Gelap dan kontradiktif dengan kepribadian luar Pak Hakim. Ia seperti sisi lain dari diri Pak Hakim—gelap, penuh misteri, dan diam-diam mengancam.

Malam kian larut. Bau asap rokok bercampur dengan kopi hitam pekat menyelimuti ruangan kecil ini, menempel pada baju-baju kami. Meninggalkan rasa lengket di udara. Aku yakin bapak-bapak lain sudah mulai mengantuk dan ingin cepat-cepat pulang. Menghindari api emosi di hati kami yang bisa tersulut kapan saja.

Pak Hakim menghela nafas dengan keras.

“Baik. Silahkan bapak lanjutkan saja pembangunannya. Kalau besok mau memulai pembangunan silakan. Yang penting saya sudah sampaikan perihal yang tadi. Saya tidak ada urusan kalau nantinya terjadi sesuatu. Risiko silakan bapak-bapak sekalian tanggung sendiri.”

Oke. Siap. Begitu seharusnya dari tadi.

Pak Hakim kemudian pamit. Memakai sandal dan pulang bersama dengan ‘ajudannya’.

Kami di ruang tamu nan dingin ini hanya saling pandang satu sama lain. Ku lihat mata orang-orang di ruangan ini. Tak ada yang berbicara. Semua tenggelam dengan pikiran masing-masing. Apa yang ada di pikiran bapak-bapak ini? Aku yakin saat ini mereka satu pendapat denganku. Aku yakin mereka setuju. Tapi bagaimana dengan besok? Siapa tahu mereka berubah pikiran setelah dengar ceramah Pak Hakim malam ini.

Pak Hakim sudah pergi. Tapi seketika ia meninggalkan keraguan yang menggantung di antara kami. Apakah keputusan kami sudah tepat? Atau hanya ego semata?

Asap rokok membumbung memenuhi ruangan ini. Cangkir-cangkir kopi sisa ampasnya. Jangkrik mengkerik. Dan malam kian larut. Sebagaimana kami larut dalam pikiran masing-masing.

****

“Mungkin memang sebaiknya kita pindah tempat saja Pak Syarif,” kata Pak RT beberapa hari kemudian. Sudah kuduga. Perlahan-lahan bapak-bapak yang ikut rapat malam itu pasti terpengaruh pikirannya oleh Pak Hakim.

“Kenapa, Pak? Bapak terpengaruhi oleh kata-kata Pak Hakim?” tanyaku langsung.

Percakapan kami terinterupsi oleh Ratih, istriku, yang mengantarkan teh panas ke ruang tamu. Disodorkannya dua cangkir teh tersebut di atas meja di hadapan kami. Lalu Ratih membukakan stoples-stoples berisi makanan kering di atas meja dan menawarkannya pada Pak RT.

“Silakan, Pak RT,” kata Ratih.

Lalu ia beranjak kembali ke dapur.

“Sebenarnya saya memikirkan banyak hal setelah malam itu, Pak Syarif,” Pak RT melanjutkan pembicaraan.

“Saya sungguh tidak ingin terjadi sesuatu—”

Njenengan sungguh-sungguh percaya dengan hal-hal tidak masuk akal itu?” tanyaku pada Pak RT—sekaligus pada diriku sendiri. Karena tak dapat dipungkiri, akupun mulai meragukan keyakinanku yang entah kenapa tiba-tiba buntu pagi ini.

Apakah aku juga ikut terpengaruh oleh kata-kata Pak Hakim?

“Walau ingin menolak untuk percaya, tak bisa saya sanggah bahwa saya sendiri mulai ragu atas keputusan kita,” jawab Pak RT.

Tepat. Sama denganku.

“Apakah bapak-bapak lain juga berpikir demikian?” tanyaku kemudian.

Apakah yang lain juga ikut terpengaruh?

“Saya rasa juga begitu, beberapa orang mengajak saya mendiskusikan hal ini.”

“Kenapa dengan bapak-bapak ini? Di mana letak kemantapan hati yang tempo hari sudah digaungkan itu?!” Pertanyaan yang sebenarnya tidak membutuhkan jawaban. Aku sendiri juga tidak tahu.

Lalu kami diam. Keraguan di hati kami semakin membuncah. Dan tidak ada suara yang mampu memantapkan kembali hati kami.

“Pak, mungkinkah njenengan juga berpikir bahwa gagasan Pak Hakim tempo hari hanyalah bagian dari rencana kesuksesan calon DPR yang ia dukung?”

Nah, akhirnya Pak RT menyentil bagian ini.

Aku mendekatkan diri ke Pak RT. Dan suaraku menjadi lebih rendah dan pelan. Menandakan bahwa ini adalah bagian terserius dari pembicaraan kami.

“Jujur saja saya berpikir demikian,” kataku.

Lalu aku menengok kanan kiri, memastikan tak ada yang menguping, bahkan istriku sendiri.

“Bukankah calon A juga mau bangun masjid di sekitar situ?” tanyaku memastikan.

Pak RT mengangguk-angguk.

“Nah, jangan-jangan ini bukan persoalan jin, melainkan soal siapa yang bangun masjid paling cepat,” kataku.

Pak RT lagi-lagi mengangguk. Kali ini lebih cepat. Dan tegas. Ya, akhirnya kami menemukan apa yang menjadi keyakinan di dada kami.

Sedikit-sedikit kami mulai yakin untuk melanjutkan pembangunan. Tinggal mengembalikan keyakinan yang hilang di hati bapak-bapak lainnya. Sebetulnya semudah itu.

“Oleh karena itu, mari kita lanjutkan saja pembangunannya,” kataku.

“Tapi pak…”

Apa lagi ini?

“Saya masih perlu memastikan.”

Memastikan apa lagi?

“Saya masih perlu memastikan bahwa tempat itu memang aman untuk dijadikan tempat ibadah. Tempat itu aman untuk kami bersembahyang,” kata Pak RT.

Jadi aku harus memastikan bahwa tempat kosong itu bukan tempat pembuangan jin? Begitu? Kenapa lagi dengan Pak RT? Kukira tadi kami sama-sama sudah yakin.

“Kalau begitu akan saya pastikan. Nanti malam saya pastikan. Bahwa tempat itu aman seratus persen. Dari jin, dari hewan liar, dari hantu, dari siluman, bahkan dari alien—kalau bapak percaya.”

****

Maka malam ini aku ditemani Wahyudi berdiri di tanah kosong tempat kami akan membangun masjid. Wahyudi menyalakan kamera ponselnya. Cahaya kuning senterku menyorot tumpukan batako dan pasir yang sudah tiba di tempat ini beberapa hari lalu. Wahyudi beberapa kali menyalakan dan mematikan kameranya.

“Akan saya pastikan kameranya tidak buram,” katanya sambil mengelap kamera ponselnya di kaos. Aku mengangguk—mengiyakan ide anak muda ini yang mengusulkan agar aku memvideo tempat ini sambil mengecek.

“Katakan kalau paman sudah siap,” katanya. Aku lagi-lagi mengangguk.

Di hadapan kami adalah tanah kosong dengan sedikit sisa alang-alang yang tidak terpangkas rapi. Semuanya gelap gulita. Tanah ini tak begitu luas. Namun kegelapan mampu menciptakan ilusi betapa tak terbatasnya luas tanah ini. Dan hal ini membuat kami ragu-ragu melangkah. Takut kalau-kalau kami menginjak lubang atau tersandung sesuatu yang membuat kami terperosok di atas tanah penuh kerikil ini.

Namun, demi memastikan dan meyakinkan bapak-bapak itu aku harus benar-benar melakukannya. Mengecek langsung lokasi pembangunan ini di malam hari. Video ini akan jadi bukti bahwa tak ada apapun di sini. Jin, setan, tuyul, atau apapun itu, tak akan ada di sini.

“Ayo,” kataku pada Wahyudi.

Lalu kami perlahan berjalan maju menyeruak gulitanya tanah kosong di hadapan kami. Udara dingin perlahan-lahan masuk menusuk tulang-tulang kami. Suasana mencekam. Tak ada suara di antara kami. Hanya langkah kaki yang terkadang gasrak-gusruk beradu dengan rumput liar.

Aku menyorotkan senter ke depan, lalu ke samping, kanan dan kiri, depan dan belakang. Tak ada apapun. Tak ada siapapun kecuali kami. Dan beberapa pohon di perbatasan area pembangunan.

Kami maju lagi beberapa langkah. Mengelilingi area pembangunan. Memastikan benar-benar tak ada apapun.

“Apakah ini sudah cukup?” tanyaku pada Wahyudi. Wahyudi yang sejak tadi fokus pada ponselnya menjawab.

“Coba sekali lagi, paman.”

Kamipun kembali berjalan. Kali ini kami memilih untuk menepi ke batas area pembangunan. Yang berupa perkebunan milik tetangga yang penuh dengan rumput ilalang dan pohon pisang. Wahyudi mengarahkan ponselnya ke perbatasan.

Dan pada langkah kesekian, tiba-tiba terjadi sesuatu.

Bukan kamera ataupun senter yang tiba-tiba mati. Bukan pula kami terjatuh terperosok di antara ilalang-ilalang liar itu.

Senterku menyorot sesuatu di luar dugaanku. Di antara pepohonan pisang yang tumbuh rimbun itu, senterku menyorot bayangan putih yang bergerak cepat. Mirip kain yang menggantung tanpa bentuk dan melayang menjauh begitu cepat.

Jantungku mencelos. Tapi aku harus memastikan apa itu.

Dengan perasaan tak menentu, kukumpulkan keberanianku. Berlari aku bersama Wahyudi mengejar ‘sosok’ itu.

Itu bukan seperti yang kupikirkan, bukan?

Berulang kali hatiku menolak percaya dengan apa yang kulihat. Itu bukan ‘sesuatu itu’, kan?

Kami terus berlari mengejar bayangan putih yang menjauh itu. Jarak kami tak begitu jauh. Hanya beberapa meter saja aku bisa menggapai kain atau sesuatu itu, menariknya, lalu mengetahui siapa pelakunya.

Namun medan yang kami lalui sungguh membuat kami repot. Daun-daun pohon pisang yang menjulur panjang hingga menutup pandangan kami sungguh mengganggu. Tetap teguh kami berlari menggapai bayangan putih itu.

Sampai akhirnya kami terengah-engah di tengah pengejaran, bayangan putih itu akhirnya menghilang entah kemana.

Lalu aku baru menyadari ada yang aneh dengan bayangan putih itu. Dan kesadaran ini menumbuhkan keyakinan bahwa memang tak ada apapun di sini. Pembangunan masjid harus tetap dilanjutkan.

Lalu video itu mungkin merekam fakta penting dari apa yang barusan terjadi. Ataupun kalau tidak kami bisa mengeditnya.

“Matikan kamera! Kau bisa mengeditnya, kan? Tak ada apapun di sini. Yang kita lihat tadi, aku melihat kakinya. Kau juga melihatnya, kan? Kau juga bisa lihat ada tapak kaki di sini,” ucapku sambil terengah-engah.

“Paman…ini…live streaming,” kata Wahyudi.

Live streaming?

“Apa itu?”

Apa itu? Apa itu live streaming?

Bahkan aku tidak tahu apa itu. Tapi dari ekspresi Wahyudi aku tahu bahwa itu artinya tidak baik untuk situasi kami saat ini.

****

Lalu berita mengenai ‘hantu’ yang tertangkap kamera saat aku mengecek lokasi pembangunan beredar begitu cepat. Sangat cepat sampai-sampai kemanapun aku pergi, jika bertemu dengan orang desa mereka akan menanyakan hal-hal ini: Apakah ‘hantu’ itu muncul betulan? Apakah bayangan putih itu benar-benar ‘hantu’? Apakah tempat itu benar-benar jadi tempat pembuangan jin? Apakah pembangunan masjid akan tetap dilanjutkan? Dan aku akan menjawabnya begini: Tidak, aku melihat kaki ‘hantu’-nya. Mana ada ‘hantu’ punya kaki yang menapak tanah? Tempat itu bukan tempat pembuangan jin. Dan pembangunan akan tetap dilanjutkan.

Namun apa daya, spekulasi buruk selalu berlari lebih cepat daripada logika yang coba kusampaikan. Dan seperti yang kita tahu, masyarakat cenderung lebih menyukai spekulasi yang tak realistis untuk dipercaya dibandingkan kebenaran yang merusak imajinasi mereka. Mereka lebih memilih mempercayai apa yang sesuai dengan keyakinan mereka daripada menggali kebenaran yang tersembunyi dalam sudut pandang orang lain.

Tapi pada malam itu, aku benar-benar yakin bahwa ada seseorang di balik bayangan putih itu. Aku yakin seseorang tengah mempermainkan aku dan Wahyudi malam itu. Aku bahkan mengingat bentuk kaki yang terlihat sedikit saat aku berlari mendekatinya. Kaki yang sedikit gemuk dengan tato yang samar terlihat di bawah sorot cahaya senter pada bagian betisnya. Nah, mana ada hantu punya tato?

Aku juga ingat perawakan dari ‘hantu’ itu. Wujudnya setinggi Wahyudi, namun lebih besar. Aku juga ingat bagaimana bayangan itu berlari. Jalannya tak begitu lurus, namun cukup cepat. Sesekali menabrak dan menangkis daun pisang yang menjulur panjang hingga pundaknya. Artinya itu benar-benar manusia. Mana ada hantu menabrak daun pisang?

Jadi aku tinggal mencari siapa sosok di balik bayangan putih itu. Siapa pemilik tato di betis itu? Siapa yang punya perawakan mirip Wahyudi dan lebih berisi itu? Pikiranku langsung tertuju pada seseorang. Siapa lagi kalau bukan preman itu?

****

“Lebih baik njenengan segera ke lokasi pembangunan!” Wahyudi masih dengan baju kerjanya menghampiriku sore itu. Ia begitu terburu-buru mengabariku hal ini. Napasnya terengah-engah dengan peluh membanjiri wajahnya.

Ada apa ini?

Aku segera berlari menuju lokasi pembangunan. Pikiranku sudah tak karuan. Hatiku menebak-nebak apa yang terjadi. Apakah ini benar-benar situasi yang genting?

Setibanya aku di lokasi pembangunan masjid, puluhan orang berkumpul di sana. Saksama melihat sesuatu. Kudapati bapak-bapak yang sebelumnya rapat bersamaku menyaksikan ‘sesuatu itu’ dengan pasrah. Mereka beberapa kali mengusap wajah, tampak kecewa.

Namun bukan itu yang membuat hatiku terguncang. Beberapa truk besar tampak terparkir di depan gundukan material. Aku menerobos kerumunan. Dan tampaklah beberapa orang memindahkan material-material itu ke dalam bak truk. Tak terkecuali, muncullah Pak Hakim dan ‘ajudannya’, Karjo Pelo—belakangan ini aku baru tahu namanya, dan nama pelo disematkan pada akhir namanya karena ilatnya yang cadel alias pelo—di balik truk-truk itu. Sudah kuduga.

“Apa-apaan ini?!”

Aku maju menghampiri Pak Hakim dan Karjo Pelo dengan amarah yang membara. Apa yang mereka lakukan?

“Apa-apaan ini?!” sekali lagi aku bertanya di hadapan Pak Hakim.

Pak Hakim tampak tenang di hadapanku.

“Tenang, Pak Syarif. Semua orang di sini sudah setuju untuk membatalkan pembangunan ini,” kata Pak Hakim. Masih dengan tenang, sehingga di sini tampaklah aku sebagai lelaki dengan amarah menggebu-gebu dan emosi tak terkontrol di hadapan banyak orang. Di sini aku tampak seperti tokoh antagonis—seperti raksasa yang siap memporak-porandakan wilayah ini.

“Kata siapa?!” tanyaku dengan emosi tak terbendung.

“Coba saja tanyakan sendiri kepada orang-orang di sini. Mereka setuju untuk membatalkan pembangunan masjid di sini. Benar, kan, bapak-bapak?”

Semua orang tertunduk. Tak ada sahutan apapun. Artinya ‘iya’?

Kurasa harus diriku sendiri yang menghentikan ini.

Aku mencengkeram kerah baju Pak Hakim. Membuat orang-orang di sekitarku panik, namun tak dapat berbuat apa-apa selain mengatakan ‘hentikan, hentikan’.

“Saya tidak akan menghentikan pembangunan ini. Saya tahu pembatalan ini hanya untuk kepentingan anda, kan, Pak Hakim? Anda tim suksesnya calon A, kan?”

“K-katakan apa maksud njenengan dengan jelas. Saya tidak mengerti,” terbata-bata Pak Hakim menjawab.

Aku melepaskan cengkeramanku.

“Sudah jadi rahasia umum kalo Pak Hakim ini tim suksesnya calon DPR ‘A’, yang mau bangun masjid juga di wilayah ini. Iya, kan?”

Suasana berubah riuh. Beberapa orang menahan napas.

“Apa tujuannya, membangun masjid lain di tempat yang sama? Bukannya untuk umat, tapi untuk nama. Biar apa? Biar semua orang tahu, masjid itu dari dia. Biar kalau nanti pemilihan tiba, orang-orang ingat siapa yang bangun tempat mereka bersujud. Biar satu suara mereka tertambat ke kotak suaranya. Iya, kan? Begitu, kan?!” kataku dengan suara keras. Biar semua orang di sini dengar.

“Jadi ini bukan persoalan persoalan jin, melainkan soal siapa yang bangun masjid paling cepat, begitu Pak Hakim?” tanya seseorang dari tengah kerumunan bapak-bapak. Akhirnya ada yang paham.

Lalu semua menjadi semakin ricuh. Orang-orang menyauti ucapan lelaki dari tengah kerumunan itu. Ya, akhirnya semua orang paham.

“Pak Hakim, kami yang susah payah mengumpulkan uang, kami juga yang lebih dulu punya niat. Kenapa harus menyerahkan ini pada dia?!” tanyaku di depan wajah Pak Hakim.

Aku tahu saat ini hati Pak Hakim pun sebenarnya mulai tergoyahkan. Wajahnya mulai menegang. Dan kericuhan tak kunjung usai.

Lalu secara tiba-tiba seseorang melingkarkan sesuatu di leherku. Membuat orang-orang di sini berteriak.

Tak kusangka, Karjo Pelo yang gayanya sok-sokan itu berani mengalungkan sabit ke leherku. Sekali bergerak tertebaslah jadi dua kepala dan badanku. Melayanglah nyawaku, bertemu aku dengan emak bapakku serta leluhurku yang sudah naik duluan. Keterlaluan kamu, Pak Hakim. Keterlaluan kamu, Karjo Pelo. Kurang ajar kamu calon A!

Sore berangsur menjadi petang. Dan matahari perlahan tenggelam di ufuk barat. Suasana yang seharusnya damai terasa kontras dengan situasi saat ini.

****

TAMAT